Barangkali seri tulisan ini hanya kebetulan semata. Waktunya amat berdekatan dengan artikel sebelum ini tayang. Setelah menulis Si Putri yang Makin Ayu (Si Putri yang Makin Ayu), kembali kita akan melihat yang ‘ayu-ayu’ di seputaran kegiatan pawai atau karnaval. Bahasan yang ringan-ringan saja saja :). Buat penyegaran, refreshing atas kejenuhan hehe...
Ya, karnaval, pawai, festival, atau istilah lainnya dalam bahasa asing seperti carnival, fest,adalah sebuah peristiwa yang jamak terjadi di belahan dunia dan di Indonesia sendiri. Momen ini bisa bersifat internasional, nasional, regional (propinsi), daerah (kota/kabupaten), dan lokal (kecamatan, kelurahan, desa, kampung).
Karnaval bisa menjadi ajang perekat kebersamaan. Sebab, di antara para peserta bisa saling bergotong-royong membuat tampilan khasnya masing-masing. Berdasarkan tema yang hendak diusung. Termasuk juga dalam penyajian gerak, lagu, yel, dan sejumlah bentuk tampilan lainnya.
Karnaval juga bisa menjadi ajang unjuk talenta bagi mereka yang punya kemampuan khusus di bidangnya masing-masing. Misalnya: desain pakaian (fashoin), perancang bunga (florist), tari (dance), olah raga, seni peran (acting), musik dan nyanyi.
Karnaval dalam bentuk apapun, senantiasa ditunggu kehadirannya dan untuk dinikmati kemeriahannya oleh khalayak. Karnaval bisa menjadi ajang berbagi keceriaan.
Sebab, tak jarang, selalu ada saja di antara peserta karnaval yang berdandan unik atau menyuguhkan atraksi lucu. Bisa dalam bentuk skenario (sudah dirancang) atau aksi yang terjadi karena spontanitas.
Simak saja, dalam setiap karnaval. Wajah-wajah yang sumringah (berseri gembira) selalu hadir mewarnai. Komentar yang diberikan lebih didominasi sisi positif. “Senang lihat karnaval seperti itu. Bagus. Nonton meskipun rumahnya jauh. Sabar saja walau menunggunya agak lama.” Kata-kata kunci yang selalu tergambar saat jurnalis (media mainstream) memberikan hasil laporan (liputan)-nya.
Kalaupun ada kekurangan, biasanya seputar ketertiban penonton. Biasalah, jamak terjadi. Inginnya bisa melihat dari dekat, di deretan terdepan. Tetapi memang ada kalanya mereka ini susah untuk mau diatur (hanya sebentar manut (nurut) petugas). Penginnya selalu melihat lebih dekat ke peserta karnaval.
Padahal, jalan di belakang kerumunan massa, malah terlihat sangat longgar. Soal sampah pasca karnaval, itu bisa diatasi dengan aksi gerak cepat pasukan kebersihan. Salut untuk mereka, sehingga adipura bisa diraih (tapi jangan terlalu berharap begitu ya, ikutlah jaga kebersiahan kota kita)...
Di sisi lain, karnaval juga membuka peluang dadakan meningkatkan perekonomian masyarakat. PKL penyedia makanan-minuman ringan, penjual mainan anak-anak, usaha parkir, adalah sebagian sukacaita masyarakat ekomomi menengah bawah.
Di sisi lain, karnaval juga menaikkan sumber perekonomian jasa tailor, petani bunga, persewaan baju atau toko busana, hingga rental mobil hias.
Karnaval Agustusan
Bulan Agustus adalah bulan yang paling berbahagia bagi masyarakat Indonesia. Dan itu berarti berbagai keceriaan warga bangsa terjadi. Mulai tingkat RT yang mengadakan berbagai lomba.
Paling umum adalah seperti balap karung, makan kerupuk, membawa kelereng yang ditaruh di sendok dan dibawa dengan digigit, bakiak beregu, estafet air. Ada juga ambil koin di pepaya yang dilumuri oli atau bubuk arang, menangkap belut, gebug guling, dan panjat pinang. Di samping itu, kadang juga ada yang bersifat serius semacam olah raga ringan (pingpong, catur), atau lomba karaoke.
Namun di antara kemeriahan-kemeriahan itu, adanya momentum karnaval selalu menjadi sentral perhatian. Dan, tentu saja di era teknologi zaman sekarang, minimal kalau punya hape berkamera/video, bisa menjadi pewarta foto atau video otodidak.
Baik itu untuk dinikmati sendiri ataupun dibagikan ke publik melalui media sosial yang ada (youtube, instagram, twitter, facebook, blog, dan lain-lain).
Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika bisa mengabadikan momen yang kehadirannya tidak tentu itu. Bisa menjadi alat bantu cerita kepada mereka yang tidak berkesempatan hadir secara langsung.
Ya, karnaval bisa menjadi ajang berbagi keceriaan. Terlepas dari insiden-insiden yang terkadang juga bisa membuat sakit hati. Mungkin (kebanyakan di event berskala besar), terselip kisah tentang copet yang berkeliaran, maling kendaraan yang beroperasi.
Soal kelelahan mengikuti prosesi karnaval, itu menjadi bonus cerita. Artinya, rasa capek, kepanasan, kehujanan, terbayarkan dengan aksi karnaval yang berlangsung.
Bersambung....
Berikutnya... part 2: “Karnaval, Pestanya Rakyat”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H