Getirnya Menjadi Petani
Oleh : Hendra Saputra *)
Miris rasanya menyimak laporan perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Aceh bulan Maret yang dikeluarkan BPS Aceh (2 April 2012). NTP Provinsi Aceh bulan Maret sebesar 104,52 atau kembali mengalami penurunan sebesar 0,53 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Naik-turunnya NTP Aceh dianggap sebagai hal yang “biasa” saja, dikarenakan hanya menggambarkan dinamika dari harga yang diterima maupun harga yang dibayarkan oleh petani. Namun penurunan NTP Aceh kali ini terasa lebih “istimewa”. Di saat harga-harga bahan kebutuhan pokok mengalami kenaikan ternyata kemampuan/daya beli petani malah menurun.
Tentunya kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar, NTP yang menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani tidak merangkak naik ditengah-tengah kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok yang sejatinya dihasilkan oleh petani itu sendiri. Idealnya, kenaikan harga-harga bahan pokok berkorelasi positif dengan peningkatan kemampuan/daya beli petani.
Bila kita lebih mencermati laporan perkembangan NTP Provinsi Aceh bulan Maret tersebut, ternyata hanya subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat saja yang mengalami kenaikan dibandingkan bulan Februari. Sedangkan empat subsektor lain (Tanaman Pangan, Hortikultura, Peternakan dan Perikanan) mengalami penurunan NTP per subsektor. Ini mengartikan hampir semua petani, peternak dan nelayan mengalami kesulitan di bulan ini. Wajar rasanya bila petani, peternak maupun nelayan sulit keluar dari garis kemiskinan melihat kondisi yang mereka hadapi.
Demikian pula bila dilihat perkomoditi. Harga Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat petani hanya berkisar antara Rp 3.800 sampai Rp 4.000/kg padahal bulan Februari lalu menembus harga Rp 4.400/kg. Harga GKG ini diprediksikan akan semakin anjlok di bulan April ini, dikarenakan panen raya baru akan terjadi pada bulan April dan Mei mendatang. Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengatasi kondisi ini. Bulog sebagai perpanjangan tangan pemerintah harus segera membeli gabah dari petani. Harga GKG di petani sudah dibawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 4.200/kg. Bulog harus memprioritaskan pembelian gabah ketimbang beras, karena para petani kebanyakan hanya mampu menjual gabah di saat panen.
Tidak jauh berbeda dengan subsektor peternakan. NTP subsektor peternakan hanya mampu menyentuh poin 99,32 atau terendah dari empat subsektor lain. Dilihat dari trend tahun 2012, subsektor peternakan belum mampu menyentuh angka tahun dasar 2007 (sebesar 100). Klaim pemerintah selama ini yang mengatakan mahalnya harga daging sapi di Aceh akan menguntungkan bagi peternak ternyata tidak terbukti adanya.
Melihat kondisi yang dialami oleh petani Aceh saat ini, menjadikan pekerjaan rumah yang berat dan harus segera dicarikan solusi oleh pemerintah Aceh. Kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan peningkatan di subsitem hulu tanpa mensinergikan dengan subsistem hilirnya tidak akan memberikan dampak yang optimal. Yang menjadi catatan penting bahwa peningkatan nilai tambah produk (Value Added) terbesar dari pertanian berada di subsistem hilirnya. Atau dengan kata lain, peningkatan produksi dan produktivitas produk pertanian yang selama ini dijalankan dirasakan tidak akan memberikan arti apa-apa bila tidak mengakibatkan peningkatan nilai tambah produk tersebut maupun peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri.
Bila demikian, langkah atau kebijakan apa yang dianggap lebih tepat untuk menjawab permasalahan ini. Pertama, Koordinasi, sinergi dan sinkronisasi. Jargon pembangunan ini selalu diucapkan namun sangat sulit untuk merealisasikannya. Koordinasi, sinergi dan sinkronisasi tidak hanya sebatas lintas instansi pemerintah saja. Namun idealnya melibatkan seluruh stakeholder yang terkait seperti perguruan tinggi, pengusaha, perbankan dan tentunya petani itu sendiri. Selama ini setiap stakeholder dirasakan seperti berjalan sendiri-sendiri yang mengakibatkan efektifitas dari pembangunan pertanian itu sendiri tidak tercapai. Pemerintah sibuk dengan menjalankan programnya sendiri, perguruan tinggi hanya terus berkutat menghasilkan karya ilmiah dengan ide-ide berlian yang belum tentu dapat diimplementasikan, perbankan menganggap pertanian tidak bankable. Demikian pula dengan pengusaha yang hanya berpikir keuntungan semata, sedangkan petani hanya bisa berusaha untuk dapat terus bertahan hidup.
Kedua, memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya tidak hanya terbatas pada sumberdaya lahan saja. Namun pemanfaatan sumberdaya manusia lebih menjanjikan. Alumni dan mahasiswa pertanian yang terus dilahirkan dari Unsyiah semestinya lebih diberdayakan. Ilmu yang didapatkan selama di kampus, kreatifitas dan jiwa kewirausahaan dari alumi pertanian menjadi modal yang besar. Melibatkan mereka dengan “memadukan” dengan petani yang memiliki pengalaman bertani setidaknya akan menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna. Caranya, berikan kepercayaan kepada mereka untuk bersama-sama petani melalui pemberian modal usaha, akses pasar dan tentunya dengan memberikan bimbingan dan pengawasan. Selama ini kepercayaan yang diberikan pemerintah kepada mereka masih “setengah hati”. Program Sarjana Masuk Desa (SMD) yang selama ini dijalankan harus dijadikan prioritas utama.
Ketiga, Monitoring dan Evaluasi (Monev) terhadap program-program yang dijalankan. Kegiatan monev merupakan hal yang standar dilakukan terhadap suatu program yang telah atau sedang dijalankan. Namun selama ini kegiatan monev lebih menitikberatkan terhadap aspek administratif semata. Semestinya penekanan dari monev bukan hanya sebatas aspek administratif, namun yang lebih penting mengkaji sejauh mana substansi, proses dan pencapaian dari tujuan kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian akan diketahui sejauhmana efektifitas dari kegiatan tersebut, sehingga diketahui langkah-langkah selanjutnya. Apakah kegiatan tersebut akan terus dijalankan, diberhentikan atau perlu dimodifikasi.
Petani lebih mengerti apa yang harus mereka lakukan. Bila kondisi ini tidak segera diatasi, jangan salahkan petani bila mereka enggan untuk terus mencari nafkah di bidang pertanian. Bila hal ini terjadi, konsekwensinya Aceh akan menjadi “ladang yang subur” untuk dijadikan target ekspor produk pertanian dari wilayah lain bahkan dari negara lain.
*) Hendra Saputra, peminat pembangunan pertanian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H