Lihat ke Halaman Asli

Realita Pemimpin Bermodus & Pemilih Pamrih

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hiruk pikuk, pagi ini begitu menyegarkan setelah tadi malam berdiskusi serta cangkru’an dengan beberapa warga desa sekitar tempat tinggal saya. Saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menyikapi keadaan di daerah tempat tinggal ini. Mungkin ini sudah menjadi rahasia umum dan biasa serta bukan tidak mungkin didaerah lain juga dilakukan praktek seperti ini. Saya hanya terdiam sedih dan prihatin dengan perilaku masyarakat sekitar yang sudah tidak ada lagi kesadaran dan keikhlasan dalam memilih dan menentukan pemimpin mereka, setelah lama saya berdiskusi dengan warga sekitar.

Kondisi ini menarik hati saya untuk menulis kembali. Karena saya pribadi dengan ikhlas selalu berkeinginan menjadi bagian kecil untuk perubahan perilaku masyarakat yang keliru dan tidak pantas diteruskan apalagi dijadikan kultur atau habit dalam kehidupan bermasyarakat. Saya hanya tidak ingin hal itu mendarah daging dan menjadi budaya KKN yang mengakar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang sudah berumur 69 tahun ini.

Kali ini saya berkesempatan tinggal dirumah selama beberapa hari setelah menyelesaikan kegiatan MKI (Magang Kerja Industri) yang begitu padat disebuah kota wisata yang memiliki lingkungan yang cukup sejuk nan indah. Mungkin Tuhan, lagi dan lagi ingin memberikan pelajaran hidup kembali kepada saya dalam beberapa hari ini.

Sekitar 6 sampai 7 bulan lagi, Disuatu daerah tempat tinggal saya saat ini akan mengadakan pemilihan kepala desa baru untuk 5 tahun kedepan. Meskipun masih tinggal 7 bulan lagi, ternyata topik ini sudah hangat diperbincangkan disetiap sudut desa. Saya mengetahui hal ini karena berbaur dan ngobrol atau jagongan untuk mempelajari perilaku orang-orang sekitar. Mereka adalah para orang-orang tua yang biasa berkumpuldipinggiran desa. Saya senang berbaur dengan mereka karena saya mempelajari pola pikir mereka yang memiliki karakter beragam dan menarik untuk dihadapi dan dipelajari sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat nantinya jika saya sudah berkeluarga (punya istri dulu ntar :D)

Topik ini menarik untuk dikaji karena tergolong fenomena unik dan miris bagi diri saya pribadi yang masih mencoba belajar dari keadaan lingkungan sekitar yang mana hal ini menandai bobroknya demokrasi kita bahkan ditingkat desa sekalipun yang hanya merupakan lingkup kecil saja. Jadi mungkin benar kata orang “Masih kecil aja jelek apalagi besarnya”. Mungkin hal itu juga berlaku di lingkup demokrasi.

Didesa sudah tercium begitu banyak tentang politik uang dan sudah menjadi hal biasa dan lumrah dilakukan setiap kali ada pencalonan kepala desa. Padahal, kalo dilihat dan dikaji dari sisi manapun hal ini merupakan hal negatif atau jelek untuk dilakukan.

Politik uang saat ini bukan hanya bisa dilakukan oleh para calon-calon kepala daerah yang berjabatan tinggi dan memiliki gaji tinggi lho..,namun bahkan untuk sekelas kepala desa sekalipun yang kalo kita kalkulasikan gajinya yang tidak seberapa bisa melakukan politik uang hingga hampir menyentuh milyaran rupiah, naudzubillah.. ini yang terfikirkan dalam benak saya, uang mereka dari mana? Apakah mereka ikhlas ? dan apakah ketika dia terpilih tidak berpotensi korupsi terselubung sedangkan dia sudah terlanjur menghabiskan uang pada masa pencalonan?

Seperti pada umumnya, (miris, fenomena ini sudah umum) jika sudah mau masuk pada masa-masa kampanye, kandidat calon seperti biasa mengiming-imingi uang plus-plus untuk para warga yang mau memilihnya atau mencoblosnya secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Mereka menawarkan beberapa hal-hal yang menarik hati warga agar memilihnya mulai dari bagi-bagi sarung, bagi-bagi baju dengan diajak makan dirumah calon bahkan tidak tahu malu memaparkan nominal yang akan dikasih jika memilih dia, misal “saya akan siap memberi setiap orang 150 rb per-orang jika memilih saya” . wah, jual suara banget ini. sungguh sangat miris jikalau sudah seperti itu, tidak ada lagi warna demokrasi dan sudah tidak pantas lagi ada slogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” menurut saya, itu hanya kata-kata puitis yang dipajang.

Hal lain yang ditemukan yaitu terkait sumber dana kampanye kepala desa. Setelah ditelusuri secara berdiskusi, ternyata ada semacam aliran dana yang bersumber dari kepala daerah setempat yang masih menjabat atau aktif dipemerintahan daerah dan turun ketingkat pemimpin desa. Entah itu pinjaman ataukah cuma-cuma Wallahua’lam…! Jadi disini calon kepala desa yang mencalonkan punya ikatan spesial dengan kepala daerah setempat yang membantu selama proses kampanye berlangsung. Entah itu dana ataupun lain-lain. Dan itu memang real, karena warga sendiri yang mengetahui dan malah mengharap itu ada agar uang cuma-cuma yang akan dibagikan dalam jumlah besar. (Halahhh.. Pamrih mau milih nih) dan juga secara logika tak mungkin seorang kepala desa bisa mengucurkan dana kampanye menembus milyaran rupiah kan?. Menurutku Impossible dan perlu dipikir lagi dari mana uangnya. Gak tahu lagi, kalo melihara tuyul hee hee :D

Jadi memang ini adalah praktek KKN yang tersistem dengan cantik dan menawan serta menjanjikan bagi beberapa oknum pencorengnama baik demokrasi atau mungkin juga, ini seperti gugatan yang diusung dalam sidang sengketa pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi yaitu terstruktur, sistematis dan masiv. (kalo gak salah ya J)

Kepala daerah yang mau mengucurkan dan membantu dana selama proses kampanye kepala desa menurut saya juga pasti ada maunya, iya gak? Ya iyalah.. gak mungkin banget kalo gak ada maunya, entah positif ataupun negative, namun menurut pemahaman saya, mereka yang memberi itu punya tujuan khusus yang akan menguntungkan dirinya suatu hari nanti atau ini bisa disebut misi jangka panjang mereka. Bisa jadi, beberapa tahun lagi mereka akan mencalonkan lagi, dll sehingga untuk menarik massa atau dukungan dari lini paling bawahpun sudah digerakkan sejak awal dengan kontrol atau pengaruh pimpinan di tiap-tiap desa. Intinya pelaksanaannya ini memang terstruktur dan tertutup mulai dari lingkup paling bawah yaitu desa.

Pemimpin bermodus dan pemilih pamrih ini sudah menjamur dan membudaya di sistem demokrasi kita, miris kan? Pemimpin ngasih uang dengan modus agar dipilih dan pemilih (rakyat) menerima uang, kalo gak ada uang mereka gak mau milih (pamrih kan?). siapakah yang harus disalahkan?? Apakah sistem demokrasi kita salah atau pelaksana demokrasinya yang memang menjadi biang keladinya? Apakah mereka masih belum memahami bahwasanya dalam islampun telah disebutkan beberapa keterangan terkait suap menyuap ini yaitu :

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]

Juga hadits, Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]

Namun, kondisi riilnya saat ini telah mengetahui dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.

Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.

Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya,

“Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]

Dan saya rasa dalam agama selain islampun masalah politik uang tentu dilarang.

Maka dari itu, mari kita bersama menjadi bagian kecil untuk perubahan perilaku masyarakat yang keliru ini. jika anda tinggal didesa ataupun kota, berilah pemahaman sebisa kita kalau hal itu dilarang untuk dilakukan dan merupakan perbuatan tercela atau salah. Mulai dari keluarga anda, berilah pemahaman bahwa janganlah menerima uang dari calon calon pemimpin tertentu yang ingin dirinya berkuasa nantinya. Didesa saja sudah seperti ini apalagi tingkat yang lebih besar lagi ?

Ayo kita laksanakan 3M : Mulailah dari diri sendiri, Mulailah dari hal-hal kecil, dan Mulailah dari sekarang. Ayo bersama saling menyadarkan satu sama lain untuk menjaga demokrasi kita tetap bersih dan tetap pantas untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dinegeri tercinta ini.

Mohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan dalam teks karena tulisan ini hanya sebagai respon saya untuk menjadi bagian kecil dari perubahan yang lebih baik.

^HEndori^

On 4 days more to campus, lets get bachelor degree as soon as possible. ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline