Jawa Barat identik dengan Sunda, apakah etnisnya atau budayanya. Tentu saja Jawa Barat saat ini tidak sama lagi dengan Jawa Barat tahun 1960-an. Jika dulu suku bangsa dan bahasa Sunda sangat dominan, saat ini dominasi sudah jauh berkurang. Misalnya tahun 1960-an pengaruh bahasa Sunda masih kental terasa di masyarakat, saat ini generasi zaman now di perkotaan bahkan di pedesaan sangat fasih berbahasa Indonesia berlogat Sunda, suatu bahasa yang 50 tahun lalu masih 'bahasa tinggi' dan disebut bahasa Melayu di pedesaan Jawa Barat.
Sekalipun dominasi kesundaan sudah berkurang karena banyaknya pendatang suku bangsa lain, karena pendidikan, pengaruh budaya luar Sunda dan pernikahan suku Sunda dengan non Sunda, namun bahasa dan budaya Sunda masih kuat pengaruhnya dalam masyarakat.
Terpeliharanya budaya Sunda dan rasa Kesundaan karena memang dijaga oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Pelajaran bahasa dan budaya Sunda masih masuk kurikulum SD dan mungkin SMP, sekalipun tak sedalam dulu, sedikit banyak membantu menjaga eksistensi Sunda sebagai etnis maupun budaya.
Perilaku umum orang Sunda dan pemimpin Sunda merupakan perilaku bawaan, pengaruh dari kehidupan sehari-hari. Tahun 1950-an sampai 1960-an tentara Divisi Siliwangi masih sangat kental Sundanya. Ketika pasukan TNI Angkatan Darat dikirim ke pelbagai daerah dalam rangka mengatasi pemberontakan separatisme saat itu, pasukan Siliwangi dari Jawa Barat adalah salah satu kontingen yang dikirim.
Ada ciri khas tentara Siliwangi yang mayoritas orang Sunda, tentara-tentara muda itu membawa kebiasaan dari kampungnya sejak masa kanak-kanak, mereka punya kebiasaan berkumpul di Langgar atau Surau sekitar satu jam menjelang matahari terbenam, menunggu waktu shalat Maghrib tiba. Inilah satu contoh budaya Sunda yang mendarah-daging pada perilaku anak-anak muda tentara Siliwangi saat itu, yang kebanyakan berasal dari pedesaan Jawa Barat.
Pada abad milenium seperti sekarang, sebagai etnis dan budaya terbesar kedua di Indonesia, budaya Sunda masih terpelihara dan dipelihara. Masih tercermin dalam kehidupan sehari-hari, minimal masih jadi pegangan secara budaya. Misalnya ketika memilih pemimpin baik non formal apalagi formal, sama dengan warga Indonesia lainnya, orang Jawa Barat juga menginginkan orang yang sempurna sebagai "kokolot" masyarakat. Jika pada zaman Pajajaran keahlian olah kanuragan sangat penting, pada saat agama Islam sudah tersebar, ketaatan dan penguasaan ilmu agama Islam menjadi satu pertimbangan penting saat memilih pemimpin.
Kriteria syarat seseorang dianggap pantas menjadi pemimpin, telah menjadi aturan tak tertulis, semacam warisan budaya yang menjadi acuan masyarakat. Apa Kriteria itu? Nyantri, nyakola, nyunda dan nyantika:
- Nyantri, sekalipun tidak harus santri lulusan pesantren, seorang calon pemimpin harus taat beragama Islam, pantas menjadi teladan warganya. Seseorang yang benar-benar taat beragama mestinya mengutamakan kejujuran.
- Nyakola, berpendidikan baik, lulusan pesantren terkenal, lulusan universitas ternama adalah salah satu ciri nyakola, namun bukan ciri utama. Seseorang yang nyakola akan terlihat cerdas dan logis ketika berpikir, cermat dan bijak bersikap. Pengaruh pendidikan, lingkungan dan pengalaman hidup akan membantu seseorang terlihat nyakola.
- Nyunda, tentu saja pemimpin di Jawa Barat diharapkan fasih berbahasa Sunda, atau dialek setempat seperti bahasa Cirebon, selain bahasa Indonesia, memahami budaya Sunda, yang tercermin dalam aktivitas sehari-hari, terlihat seperti layaknya orang Sunda, ramah, akur dengan tetangga, mampu menyatu dengan masyarakat, jauh dari sikap merasa lebih dari orang lain.
- Nyantika, artinya tahu etika, tata krama, sopan saat berbicara, dapat membawa diri pada pelbagai strata.
Apakah seseorang yang ingin menjadi pemimpin formal di Jawa Barat harus orang Sunda? Tentu saja tidak mutlak harus, namun untuk pemimpin formal seperti Bupati, Walikota dan Gubernur, karena dipilih langsung oleh rakyat, empat kriteria pemimpin yang diharapkan rakyat Jawa Barat pada umumnya, akan sangat berpengaruh terhadap dipilihnya seorang calon pemimpin.
Berbeda halnya ketika memilih seorang Kapolda, Panglima Kodam dan eselon di bawahnya, kriterianya lebih bersifat teknis, tidak harus orang Sunda, tidak harus Islam walaupun mungkin jadi pertimbangan juga. Para pemimpin tersebut ditentukan oleh atasan-atasan mereka di Jakarta, Kapolri atau KSAD dan Panglima TNI.
Untuk pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyat ternyata tidak juga harus orang Sunda asli. Sumedang pernah dipimpin oleh Bupati bersuku Jawa. Kota Bogor saat ini Walikotanya orang Bogor asli, berayah Jawa, beribu Sunda, tapi nyunda-nya tak perlu diragukan lagi. Sedangkan Kota Depok, yang penduduk aslinya Betawi dan sebagian Sunda, saat ini telah menjadi Indonesia kecil, karakter masyarakatnya agak berbeda dengan masyarakat Jawa Barat lainnya, yang pengaruh Sundanya lebih kuat.
Kriteria nyantri-nyakola-nyunda-nyantika masih cukup demokratis, ada nuansa identitas, tapi masih jauh dari SARA. Wajar saja pemilih mempertimbangkan identitas, sejalan ia tetap memperhatikan kualitas calon pemimpin yang dipilihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H