Anak muda zaman sekarang yang berusia 30-an ke bawah mungkin belum mengalami penerbangan antar kota maupun antar negara, yang sampai mid 1990-an masih penuh dengan asap rokok.
Ketika itu perokok aktif masih diberi fasilitas 'mewah' dalam pesawat komersil, yah itu para perokok boleh merokok di dalam pesawat terbang selama penerbangan, kecuali saat take off dan landing (lampu tanda dilarang merokok akan menyala di atas tempat duduk penumpang).
Bulan Juni 1978 saya naik pesawat Merpati Airlines dari Kemayoran Jakarta menuju Bandara Hasanuddin Ujungpandang (sekarang kembali bernama Makassar). Pesawat terbangnya entah merk dan tipenya apa, seingat saya lebih besar dibanding DC 9 yang menjadi andalan Garuda saat itu. Bagi perokok rokok kretek memang agak kurang nyaman, penumpang boleh merokok rokok 'putih', tapi rokok kretek tidak boleh. Hehehe.
Ketika kembali ke Jakarta saya menggunakan pesawat DC 9 Garuda, pesawat penerbangan dalam negeri paling keren saat itu. Di dalam pesawat, woow penumpang boleh merokok, bahkan rokok kretek pun boleh. Ruang duduk penumpang selain dibagi berdasarkan harga tiket, kelas bisnis dan ekonomi, di bagian belakang pesawat disediakan cukup banyak kursi yang disebut smoking area.
Untuk penerbangan ke luar negeri, maskapai penerbangan masih menyediakan 'smoking area'. Ketika naik Japan Airlines dari Sukarno - Hatta ke Narita pergi pulang, April 1989, saya masih bisa pilih smoking area. Begitu pula ketika naik Garuda dalam penerbangan internasional sampai sekitar 1995-1997, penumpang perokok masih diberi fasilitas 'mewah' untuk merokok selama penerbangan.
Namun ada pengalaman 'tidak nyaman' ketika pada sekitar April 1995 menggunakan Singapore Airlines, ternyata maskapai penerbangan negeri Singa itu sudah menerapkan kebijakan 'penerbangan bebas asap rokok'. Kalau tak salah ingat bahkan Singapore Airlines mengklaim diri sebagai maskapai penerbangan pertama di dunia yang memberlakukan 'penerbangan bebas asap rokok', atau paling tidak satu-satunya untuk penerbangan rute Jakarta - Singapura PP saat itu.
Setelah Singapore Airlines menerapkan kebijakan 'penerbangan bebas asap rokok', beberapa tahun kemudian --persisnya saya tidak ingat--, Garuda dan penerbangan lainnya menerapkan kebijakan 'penerbangan bebas asap rokok'.
Habislah sudah kemewahan yang diberikan untuk para perokok. Tak ada lagi smoking area di dalam kapal terbang. Untung saja tak ada lembaga pembela HAM yang protes bahwa perusahaan penerbangan telah melanggar HAM. Hehehe bayangkan jika penumpang masih boleh merokok dalam penerbangan, bukan hanya pesawat penuh asap rokok, ruang tunggu di bandara pun akan penuh asap rokok.
Para perokok memang harus banyak bersabar, tak boleh lagi merokok di dalam kapal terbang, dilarang merokok dalam ruangan publik, tak boleh merokok ketika naik kereta api, bis kota, bis antar kota ....dan sekarang harga rokok mau dibikin Rp 50.000/bungkus! Alamak tak habis-habisnya 'cobaan' untuk perokok.
Untung saya sudah hampir tujuh tahun berhenti merokok, kata dokter tidak sehat, dan saya setuju pendapat dokter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H