Lihat ke Halaman Asli

Hendi Setiawan

TERVERIFIKASI

Kompasianer

SOS Kabut Asap di Jambi dan Riau

Diperbarui: 8 September 2015   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pekanbaru 7 September pukul 10 pagi"][/caption]

Sudah sebulan kabut asap akibat kebakaran atau pembakaran (?) lahan hutan dan lahan perkebunan melanda Provinsi Riau dan Jambi. Berita di media pernah melaporkan 80% udara Sumatera diselimuti kabut asap, penyakit ISPA menjadi langganan masyarakat Riau dan Jambi dan beberapa lokasi di luar provinsi itu yang terdampak asap kebakaran atau pembakaran lahan, seperti di Gunung Sitoli, Pulau Nias. Penerbangan dari dan ke Pekanbaru, Jambi, Kuala Namu, bahkan Palembang terganggu, banyak penerbangan dibatalkan, demikian pula di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan kabut asap melanda bagian barat Provinsi Sumatera Utara tersebut. Penumpang pesawat terbang rute Padang Sidempuan dan Sibolga menuju Kuala Namu terpaksa berpindah ke moda angkutan darat yang ditempuh dalam waktu 12 jam menuju pantai timur Sumatera Utara.

Jarak pandang hanya 50 meter, udara bersih yang dihirup tinggal 5%, penduduk Riau terancam kesehatan paru-parunya pada waktu yang akan datang. Kekhawatiran warga Riau dan Jambi akhirnya naik level menjadi kemarahan karena tak pernah tuntasnya pemberantasan kebakaran atau pembakaran lahan perkebunan dan hutan di kedua provinsi itu.

Sekitar seminggu lalu sebuah broadcast surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo, berjudul SURAT RIAU dan JAMBI UNTUK INDONESIA. Ditulis bahwa titik api di Riau dan Jambi bukan simbol kemarahan Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, tapi simbol keserakahan dan ketidakpedulian negara terhadap daerah. Mereka bertanya apakah Presiden Jokowi akan datang ke Riau/Jambi? Bandara ditutup pak, kalau jalan darat bahaya, asap tebal di mana-mana, nanti mengganggu kesehatan Presiden. Biarkan Jambi dan Riau menjadi lahan Sawit dan (hutan) tanaman industri. Mereka pasrah, tidak berdaya, udara Jambi dan Riau sudah status bahaya, Pekanbaru tidak layak huni.  Mereka juga berterimakasih atas doa saudara-saudaranya setanah air di provinsi lain yang berdoa agar musibah kabut asap segera berakhir.

Sejumlah warga Jambi demontrasi menuntut Pemdanya agar bertindak segera memadamkan kebakaran lahan, artinya juga mendemo Pemerintah Pusat. Sejumlah warga Riau 'melapor' minta bantuan ke Konsulat Malaysisa di Pekanbaru dengan harapan pasukan BOMBA, pasukan pemadam kebakaran Malaysia akan membantu memadamkan kebakaran lahan di Riau. Lha memangnya Indonesia tak punya "aparat" yang mampu memadamkan kebakaran dan pembakaran lahan?

Bukankah kita punya Badan Nasional Pemberantasan Bencana (BNPB), kita juga punya BPPT yang ahli bikin hujan buatan, masih ada Dinas Kehutanan dan Perkebunan di setiap provinsi dan kabupaten, masih ada Polri/Polda/Polres, masih punya TNI/Kodam/Korem/Kodim, masih punya Bupati, Walikota dan Gubernur yang perannya kuat di zaman otonomi daerah seperti sekarang, masih punya helikopter dan pesawat terbang untuk melakukan pemboman dengan air, masih ada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, masih ada Kementerian Pertanian, masih punya Kejaksaan Agung di Jakarta, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di ibukota provinsi sampai di kota /kabupaten dan tentu masih punya Menteri Koordinator dan Presiden.

[caption caption="Darurat kabut asap di jambi - September 2015"]

[/caption]

Begitu banyak orang terdidik dalam bidangnya, bertahun-tahun kebakaran dan pembakaran lahan terus berlangsung dengan segala dampaknya. Yang paling nyata terlihat kabut asap yang mengganggu kesehatan dan aktivitas warga, yang belum terlihat adalah musnahnya sebagian keragaman hayati sumber plasma nutfah Indonesia, karena hutan mulai musnah, akibat pembalakan liar maupun legal, akibat konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit, akibat konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri. Bahkan hutan lindung dan suaka alam pun terancam dirambah untuk dijadikan kebun kelapa sawit.

Segitu pesatnya bisnis Kelapa Sawit di Riau dan Jambi, apakah dampaknya tak pernah dipikirkan oleh para eksekutif di Pemerintahan, di pusat maupun daerah? Apakah masukan dari warga masyarakat terkait dampak lingkungan konversi besar-besar hutan alam menjadi kebun diabaikan begitu saja demi fulus? Tak tahulah awak, karena kejadiannya sudah berlangsung berpuluh tahun, mau menyalahkan siapa?

Tahun lalu Pak Jokowi berkunjung blusukan ke Riau ketika kebakaran lahan menimbulkan bencana asap. Minggu lalu Presiden juga blusukan ke Sumatera Selatan meninjau bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Kemarin muncul berita Kepala BNPB Samsul Maarif diganti oleh Willem Rapangile, tentu Presiden menginstruksikan agar Kepala BNPB yang baru mampu mengatasi bencana kabut asap secepat mungkin, terkoordinasi dengan instansi-instansi lain. Pekerjaan mengatasi kabut asap di Sumatera dan Kalimantan bukan hanya pekerjaan memadamkan api secara harfiah. Harus dicari akar masalah yang paling seakar-akarnya sebetulnya apa?

Apakah benar ada pembakaran lahan secara sengaja oleh perusahaan perkebunan? Apakah sudah ditangkapi para pembakar lahan dan hutan tersebut? Tugas polisi dan jaksa mengejar mereka, usut jangan hanya petani pekebun saja, usut juga bila ada perusahaan-perusahaan besar yang terlibat. Bila perlu diperiksa pemberian izin konversi sudah melalu analisis AMDAL atau tidak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline