Lihat ke Halaman Asli

Hendi Setiawan

TERVERIFIKASI

Kompasianer

BPJS Kesehatan Tidak Haram, Tapi Status Darurat

Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kartu-Kartu BPJS Kesehatan "Aman" Digunakan"][/caption]

Pernyataan MUI bahwa BPJS Kesehatan haram mengagetkan Indonesia. Pasalnya BPJS Kesehatan sudah berjalan 19 bulan sejak 1 Januari 2014, kok baru sekarang MUI menyatakan pendapat. Tak ayal netizen termasuk Kompasianer mengkritik keras fatwa MUI, diantaranya seorang Kompasianer menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, jadi tak perlu BPJS yang sesuai syariat islam. Begitu barangkali maksud Kompasianer tersebut, sebuah pernyataan yang tak sepenuhnya saya setuju.

Saya sebagai bagian bangsa Indonesia, beragama Islam dan peserta BPJS Kesehatan sejak November 2014, tak mau serta merta mengkritik apalagi menghujat MUI. Saya tahu para ulama di MUI menerbitkan fatwa tentu tak sembarangan, ada landasan fiqihnya sesuai Al Quran dan Hadis. Lalu apa dari BPJS Kesehatan yang mengandung unsur gharar (keraguan, tipuan, tindakan yang merugikan pihak lain), maisir (kegiatan bisnis berdasarkan spekulasi, untung-untungan), riba (Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad/transaksi)?

Harus jelas sekali bagi masyarakat apa saja unsur gharar, maisir dan riba yang disebut MUI. Apakah unsur denda pembayaran yang 2% atau 3% per bulan, atau akad transaksi yang salah antara peserta BPJS dengan penyelenggara BPJS Kesehatan?.

Yang melegakan di Republika Online ada dua berita pada hari yang berbeda, yaitu "MUI:Status BPJS Kesehatan Darurat" (Republika Online 30 Juli 2015) dan "MUI Tidak Mengharamkan BPJS" (Republika Online 29 Juli 2015). KH Maruf Amin, Wakil Ketua MUI, menyatakan bahwa Pemerintah harus menggulirkan BPJS Kesehatan Syariah, untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat (Muslim) disamping BPJS Kesehatan konvensional. Keadaan darurat ini tidak boleh dibiarkan, di bidang perbankan dan asuransi status dari sudut syariah sudah tidak darurat lagi, karena sudah ada bank Syariah dan asuransi Syariah. Sedangkan Irma Suryani anggota Komisi IX dalam pernyataan tertulisnya kepada Republika Online menyatakan “MUI tidak mengharamkan BPJS-nya, tetapi yang dianggap haram oleh MUI adalah pungutan denda sebesar 3 persen atas keterlambatan anggota membayar iuran”.

Dari penelaahan berita tersebut ada kabar baik bagi peserta BPJS Kesehatan -terutama yang Muslim- bahwa BPJS Kesehatan statusnya darurat, saya tafsirkan BPJS Kesehatan masih "boleh" sampai terbentuknya suatu saat BPJS Kesehatan Syariah. Kartu BPJS Kesehatan dan kartu-kartu lainnya seperti  Kartu Askes, Kartu Jakarta Sehat "aman" digunakan, tak bertentangan dengan syariah selama status masih "darurat".

Sedangkan kabar kurang baiknya, bagi MUI sekalipun  punya otoritas menerbitkan fatwa, sebaiknya dikomunikasikan dulu dengan pihak terkait misalnya Pemerintah, DPR dan BPJS Kesehatan sendiri, agar masyarakat tidak terkaget-kaget sehingga menimbulkan polemik, kritik, bahkan caci maki seperti saya baca di Kompasiana dan facebook. Tak elok bukan bila menimbulkan debat kusir inter dan antar umat beragama berlainan, sekalipun di dunia maya.

Semoga Pemerintah dan DPR tidak mengabaikan fatwa MUI, demi kepentingan bangsa Indonesia, mulai memikirkan pembentukan BPJS Syariah atau BPJS yang sekarang direvisi bila masih memungkinkan agar sesuai persyaratan syariah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline