Pada running text di sebuah TV berita, Menteri Dalam Negeri mempertanyakan keberadaan Badan Intelijen Negara (BIN) atas terjadinya pembubaran shalat Idul Fitri dan pembakaran mushala di Kabupaten Tolihara. Memang keterlaluan perilaku para perusuh yang membubarkan shalat Idul Fitri dan membakar mushala tepat pada Hari Raya Idul Fitri. Benarkah bahwa kejadian ini didahului oleh beredarnya surat dari 'Badan Pekerja Wilayah Toli Gereja Injili Di Indonesia (GIDI)'? Atau seperti sebuah artikel di Kompasiana yang menduga terjadinya peristiwa ini gara-gara umat Islam yang akan melakukan shalat Ied menolak 'perintah' GIDI agar tidak menggunakan pengeras suara (Toa)?.
Pertanyaan Menteri Dalam Negeri masih masuk akal, apa para telik sandi BIN di Papua tak mengendus kemungkinan terjadinya kerusuhan yang mencengangkan ini? Namun masyarakat juga wajar jika bertanya, apakah Bupati, DPRD, Polres dan Danramil setempat tidak melakukan tindakan preventif apapun setelah menerima tembusan surat pemberitahuan GIDI kepada umat Islam sekabupaten Tolihara? Bila surat tersebut benar, sangat mudah dicerna, surat ini melarang acara Lebaran dilakukan di Kabupaten Tolihara, boleh dilakukan di luar Kabupaten Tolihara dan Jayapura dan kaum muslimat dilarang menggunakan yilbab (mungkin maksudnya jilbab). Bahkan surat pemberitahuan itu juga memuat GIDI melarang adanya agama lain dan gereja denominasi lain dilarang mendirikan rumah ibadah di Kabupaten Tolihara. Pindaian (scanning) surat pemberitahuan ini sekarang beredar luas di dunia maya.
Menteri Dalam Negeri seharusnya bukan hanya mempertanyakan keberadaan BIN, tapi menegur Bupati dan DPRD yang tidak sigap mencegah kejadian ini, padahal surat bertanggal 11 Juli 2015 jauh sebelum hari Idul Fitri, isinya sangat tak pantas dari sudut logika hukum maupun logika bermasyarakat di Indonesia, yaitu pelarangan aktivitas keagamaan umat Islam dan pelarangan pendirian rumah ibadah agama lain, termasuk gereja yang tidak berafiliasi dengan GIDI. Kepolisian Resor Tolihara harus menindak tegas pelaku kerusuhan, termasuk dua pendatangan surat GIDI.
Membaca surat pemberitahuan GIDI bertanggal 11 Juli 2015 atau enam hari sebelum tanggal kejadian 17 Juli 2015, pihak Kepolisian Tolihara benar-benar kecolongan bila tak boleh disebut lalai, kecuali bila ada fakta bahwa Polres Tolihara tidak pernah menerima tembusan surat tersebut -sesuatu 'hil yang mustahal' bila surat ini benar-benar ada-, termasuk saya bertanya juga kenapa masyarakat yang dituju surat tersebut 'diam saja', tidakkah melapor ke Polisi dan Bupati Tolihara?
Nasi sudah menjadi bubur, Polres Tolihara selain harus menyelidiki kasus pembakaran mushala dan pembubaran shalat Idul Fitri, sekalian memeriksa tuntas keterlibatan pengurus GIDI, lebih-lebih lagi surat GIDI yang sepertinya menganggap dirinya pemilik Kabupaten Tolihara (dan Jayapura). Berdamai adalah pilihan yang paling baik, namun bila ada unsur kejahatan pidana diselesaikan juga sesuai hukum yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H