Boleh tidak cerita pengalaman tempo dulu untuk topik pasar rakyat? Mudah-mudahan boleh ya, hanya berbagi pengalaman saja.
Pada akhir tahun 1960an - awal 1970an ayah saya sebagai PNS ditugaskan Pemda Kabupaten Bogor di Kecamatan Parung. Sebagai 'anak kota' yang sedang bersekolah SD - SMA di kota Bogor, kami anak-anaknya tak ada yang ikut bertempat-tinggal di Parung, keluarga tetap di Bogor dan ayah kami pulang setiap akhir pekan pada hari Sabtu. Situasi saat itu terlalu berat untuk pergi pulang Bogor - Parung setiap hari, sarana transportasi umumnya tidak memadai, jalan rayapun masih jalan berbatu.
Jalan raya yang menghubungkan Parung dengan kota Bogor, sepanjang 24 kilometer, saat itu baru beraspal mulus sampai Semplak, 6 kilometer dari kota Bogor, sebuah kecamatan dimana Lanud AURI (sekarang TNI AU) Atang Senjaya bermarkas. Antara Semplak - Parung - Ciputat hanya dihubungkan jalan berbatu dan baru diaspal mulus sekitar 1969-1970. Pada saat itulah jalan alternatif dari Jakarta menuju Bogor mulai ramai digunakan, termasuk beroperasinya bis Saudaranta yang menjalani rute Bogor - Jakarta (Tanabang) via Parung pp, mungkin mulai pertengahan 1970an.
Walaupun tidak menetap di Parung, sesekali terutama saat libur sekolah saya dan kakak-adik lainnya biasanya menghabiskan libur sekolah di Parung, yang saat itu belum dialiri aliran listrik PLN. Untuk penerangan pada malam hari kami menggunakan lampu patromak yang cahayanya sangat terang, tapi menjelang tidur sekitar pukul 21 -22 biasanya diganti dengan lampu tempel.
Parung sebagai ibukota kecamatan punya pasar yang unik, pasar hanya buka seminggu dua kali, pada hari Selasa dan Jumat, hari itu disebut hari pasar. Pasar semacam ini saat itu memang banyak ditemukan di Indonesia, namun Pasar Parung saat itu unik bukan hanya dari waktunya, juga barang dagangannya dan pasar -hari pasar bagi warga bukan hanya untuk berbelanja juga untuk keperluan lain termasuk rekreasi.
Pasar semacam ini ada juga yang buka seminggu atau sepekan sekali, sehingga bahasa Indonesia saat itu mengenal kata pekan sebagai pasar. Dalam buku bahasa Indonesia tahun 1960-an bila menemukan kalimat "Ibu pergi ke pekan" artinya "Ibu pergi ke pasar".
[caption id="attachment_382085" align="aligncenter" width="538" caption="Pohon Besar landmark Pasar Parung masih ada sampai saat ini. Suasana tempo dulu masih terasa berbaur dengan lalu lalangnya kendaraan bermotor produksi tahun 2000an. (Sumber: Google maps)"][/caption]
Ramainya hari pasar bukan alang kepalang, jalan utama macet oleh kerumunan pedagang dan pembeli, kendaraan bermotor yang jumlahnya masih sedikit akan berjalan sangat pelan melalui jalan utama yang berubah jadi pasar.
Barang-barang apa saja yang dijual di pasar yang buka seminggu dua kali ini? Hasil bumi sekecamatan Parung seperti jengkol, petai, ubi kayu, ikan air tawar, ikan cue, ikan laut basah, ikan asin, pakaian jadi, petasan, sayur mayur, buah-buahan dan hewan ternak seperti ayam dan kambing.
Pada musimnya buah hasil bumi asli Parung dan sekitarnya benar-benar melimpah seperti duren, rambutan, kecapi, jambu batu, jambu air, nangka, cempedak, duku, timun suri, kweni, kupa. Saat itu duren Parung masih terkenal sebagai duren yang daging buahnya tebal dan lezat. Penjual makanan matang, warung nasi, bahkan bengkel sepeda turut menangguk lebih banyak pelanggan pada hari pasar.
Satu aktivitas yang menarik tua maupun muda adalah lapak lotre atau rolet, sebenarnya lapak ini lapak judi yang hadiahnya telor asin dan rokok. Lapak judi ini hanya kadang-kadang saja dibubarkan oleh aparat Komsek (sekarang disebut Polsek) dan Koramil, lebih sering dibiarkan karena peminat judi rolet ini memang ramai ... he he he. Di bagian belakang pasar yang agak tersembunyi pernah juga saya lihat orang berjudi menggunakan kartu domino.