Oleh: dr. M. Rizky Hendiperdana
Solidaritas sosial dan kohesi sosial seperti yang dinyatakan oleh Dr. Mike Ryan Epidemiologis WHO adalah satu satu modal sosial yang penting dalam menghadapi situasi wabah pandemi ini. Di sosial media tidak kurang banyak informasi yang beredar luas mengenai apapun tentang pandemi Corona ini.
Mulai dari pencegahan, cara mengurangi penyebaran, edukasi tentang gejala dan tanda dari infeksi virus corona. Semua elemen berlomba-lomba untuk memberikan sumbangsih menurut kemampuan masing-masing. Selebriti dengan pengaruhnya melalui sosial media. Ilmuwan melalui temuan dan komentar ilmiahnya. Semua bahu-membahu dalam rangka memerangi musuh bersama suatu pandemi yang nama resminya adalah Covid-19.
Saya adalah dokter residen kardiologi dari Universitas Indonesia yang sedang menjalani proses isolasi selama 14 hari sebagai orang dalam pemantauan (ODP)--bila meminjam istilah teknis dari penanganan pandemi corona ini.
Isolasi yang saya jalani di rumah ini terkait kontak dengan seorang yang positif terjangkit covid-19. Sesuai prosedur, ODP dirumahkan. Dibebaskan dari segala tugas dan pekerjaan seorang dokter residen yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis (PPDS) jantung.
Perasaanku, tentu risau. Sulit kugambarkan keresahan ini. Hal pertama adalah tentang keselamatan diri dan keluarga. Bagaimana bila kami memang ikut terjangkit.
Namun, sudah sekira 14 hari pascakontak tidak ada gejala, hal ini sedikit melegakan. Setidaknya saya tidak simtomatik atau bergejala, sehingga lagi-lagi sesuai prosedur, saya tidak perlu memeriksakan diri dengan seperangkat alat test termasuk swab tenggorok untuk mengkonfirmasi terinfeksi covid-19 atau tidak. Kerisauan pertama mungkin sudah dapat teratasi.
Kerisauan kedua, tentu sebagai residen, tugas dan pekerjaan yang menumpuk adalah makanan sehari-hari. Belum lagi masalah jadwal jaga.
Status sebagai ODP yang menjalani proses isolasi ini membuat saya dibebaskan dari semua hal yang melekat sebagai residen, termasuk tugas-tugas jaga malam.
Ini kerisauan yang belum terpecahkan, bagaimana dari luar menyaksikan rekan-rekan kepayahan dalam jumlah tenaga PPDS yang terbatas. Karena hampir sepertiga jumlah seluruh residen dalam proses isolasi, ada 35 nama yang dirumahkan.
Ini juga bukan jumlah yang sedikit, dampaknya amat signifikan. Menyaksikan dari kejauhan adalah pilihan yang ditempuh, sambil menunggu masa isolasi ini selesai. Foto-foto beredar di sosial media, teman-teman dalam ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang terbatas, tetap memberi pelayanan dan otoritas memutuskan untuk terus menyediakan pelayanan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di tengah kondisi yang tidak menentu ini.