Kemenangan Kotak Kosong di Pilkada 2024: Refleksi Demokrasi dan Evaluasi Sistem Politik
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 mencatat fenomena menarik, yaitu kemenangan kotak kosong di sejumlah wilayah.
Dari 37 daerah yang melaksanakan Pilkada dengan calon tunggal, terdapat beberapa wilayah di mana kotak kosong berhasil meraih suara terbanyak.
Fenomena ini tidak hanya menjadi cermin dari dinamika politik lokal, tetapi juga mencerminkan "protes" masyarakat terhadap sistem demokrasi dan partai politik di Indonesia.
Salah satu kemenangan kotak kosong terjadi di Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan hasil hitung cepat, kotak kosong meraih 55,9% dari total 87.081 suara, sedangkan pasangan calon tunggal Maullil Masagus M. Him memperoleh 40,5%, dengan 3,6% suara tidak sah.
Euforia kemenangan ini dirayakan dengan aksi cukur rambut massal oleh warga Pangkal Pinang sebagai simbol syukur dan pernyataan bahwa "rakyat berdaulat."
Fenomena serupa juga terjadi di Kabupaten Bangka, di mana kotak kosong mengungguli pasangan calon Mulkan-Ramadian dengan perolehan suara sebesar 57,25% dibandingkan 42,75%.
Kasus ini mengingatkan pada Pilkada Makassar 2018, ketika pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi kalah dari kotak kosong.
Mekanisme dan Implikasi Kemenangan Kotak Kosong
Menurut Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon tunggal dinyatakan menang jika memperoleh lebih dari 50% suara sah.
Sebaliknya, jika kotak kosong meraih suara mayoritas, pemilihan harus diulang pada jadwal berikutnya, sesuai ketentuan yang berlaku. Hingga pemimpin definitif terpilih, pemerintah akan menunjuk pejabat sementara untuk memimpin daerah tersebut.
Kemenangan kotak kosong membawa implikasi besar, baik secara teknis maupun politis. Di satu sisi, hal ini menunjukkan adanya kekosongan kepemimpinan yang harus diisi. Di sisi lain, fenomena ini memberikan sinyal bahwa masyarakat tidak puas dengan pasangan calon yang ditawarkan.