Kabinet Zaken, Kekuasaan Teknokrasi dan Ujian Bagi Kaum Cerdik Pandai
Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih untuk periode 2024-20229 berencana untuk membentuk zaken kabinet yang diisi oleh para profesional dan teknokrat di luar struktur partai.
Kabinet Zaken sebagai suatu kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi dari suatu partai politik tertentu, dikenal dengan istilah Teknokrasi.
Kata teknokrasi bersumber dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata tchne yang berarti keterampilan dan krtos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan.
Merangkum dari berbagai sumber, teknokrasi mengacu pada sistem pemerintahan yang mana para ilmuwan dan pakar teknis memegang jabatan politik serta membuat keputusan untuk kepentingan publik. Para teknokrat memanfaatkan pengetahuan dan keahlian mereka untuk mengatasi masalah publik (kumparan.com, 2023).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, teknokrasi merupakan bentuk pemerintahan ketika para pakar teknis menguasai pengambilan keputusan dalam bidangnya masing-masing. Orang-orang yang punya pengetahuan, keahlian atau kemampuan (cerdik pandai), akan membentuk badan pemerintahan.
Di Indonesia, sejarah pembentukan Zaken Kabinet sejak Masa Awal Kemerdekaan Sampai Masa Reformasi, misalnya Kabinet Natsir (1950-1951). Zaken kabinet pertama kali diterapkan dalam Kabinet Natsir. Mohammad Natsir dari Partai Masyumi selaku perdana menteri memasukkan orang-orang ahli dari non-partai ke dalam pemerintahan.
Mereka antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Wakil Perdana Menteri, dan Ir Djuanda selaku Menteri Perhubungan. Selain itu, ada juga beberapa ahli yang berlatar belakang partai, seperti ahli ekonomi dan keuangan terkemuka pada waktu itu yakni Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan dan Soemitro Djojohadikusumo selaku Menteri Perdagangan dan Perindustrian (https://www.detik.com, 2024).
Selain itu, Kabinet Wilopo (1952-1953). Zaken kabinet juga dibentuk pada masa Kabinet Wilopo yang bertugas antara 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Dalam kabinetnya, Wilopo yang berlatar belakang PNI memasukkan kalangan ahli dan profesional, seperti Djuanda selaku Menteri Perhubungan dan Bahder Djohan yang juga nonpartai selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (https://www.detik.com, 2024).
Selanjutnya Kabinet Djuanda (1957-1959). Setelah Kabinet Wilopo, pemerintahan sempat berganti beberapa kabinet, yaitu Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI), Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi), dan Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI). Kegagalan Kabinet Ali dilanjutkan pembentukan formatur kabinet oleh Soewirjo, tetapi juga gagal. Presiden Sukarno lalu menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur dan menunjuk Ir Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri setelah sempat menjadi menteri di beberapa periode sebelumnya (https://www.detik.com, 2024).
Kabinet Djuanda disebut sebagai Zaken Kabinet karena anggotanya adalah para ahli dan golongan intelektual yang diharuskan berasal dari luar partai. Hal ini disebabkan oleh kegagalan kabinet-kabinet sebelumnya yang sarat kepentingan partai politik (https://www.detik.com, 2024).