Penunjukkan Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) oleh Presiden Joko Widodo memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi. Berbagai argumentasi dan kritik, pro kontra berseliweran di jagat maya. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak.
Pemerintah sendiri berargumen bahwa pelantikan dua Wamen di Kementerian Keuangan bukanlah hal baru dan merupakan kewenangan mutlak Presiden Jokowi.
Argumen pemerintah ini dilansasi oleh dua alasan, Pertama, penunjukkan sebagai upaya untuk memastikan kontinuitas pemerintahan.
Jadi, dengan masa transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto, adanya figur yang dapat menjembatani kebijakan dan program diharapkan dapat menjaga stabilitas dan keberlanjutan anggaran serta program-program pemerintah yang sedang berjalan.
Alasan ini disinyalir penting untuk memastikan bahwa perubahan pemerintahan tidak mengganggu implementasi kebijakan yang telah dirancang untuk jangka panjang.
Oleh karena itu, pemerintah menekankan bahwa penunjukkan ini bertujuan untuk mempersiapkan program yang akan dijalankan oleh presiden dan wakil presiden terpilih, menunjukkan kesinambungan dengan pemerintahan selanjutnya.
Kedua, penunjukkan Thomas Djiwandono adalah potensinya untuk membawa inovasi dalam pengelolaan fiskal.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang memerlukan dorongan baru, kehadiran seorang figur dengan perspektif segar dapat menjadi katalis bagi perubahan positif.
Inovasi dalam pengelolaan fiskal dapat mencakup kebijakan-kebijakan yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika ekonomi global serta tantangan domestik, seperti pemulihan pasca-pandemi dan peningkatan daya saing ekonomi nasional.
Namun demikian, penunjukkan Thomas Djiwandono tidak luput dari kritik dari berbagai kalangan yang kontra. Poin pertama yang menjadi perhatian adalah latar belakangnya yang bukan teknokrat.