Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi (Kampus) merupakan isu yang memprihatinkan dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Pasalnya, selain mencederai fisik dan psikologis korban, kekerasan seksual menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak nyaman bagi seluruh civitas akademika.
Data kekerasan seksual di kampus menunjukkan bahwa masalah ini masih serius dan terus muncul di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020), terdapat 338.496 laporan kekerasan terhadap perempuan, dengan 4.660 kasus kekerasan seksual (https://databoks.katadata.co.id, 2023).
Selama periode 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, mayoritasnya terjadi di kampus. Kekerasan seksual di perguruan tinggi mencakup berbagai bentuk, mulai dari pelecehan verbal, intimidasi seksual, hingga pemerkosaan.
Banyaknya kasus yang tidak terlaporkan atau tidak ditangani dengan serius menunjukkan adanya budaya yang sering kali menyalahkan korban dan minimnya dukungan bagi mereka.
Korban kekerasan seksual sering kali tidak merasa nyaman untuk melaporkan kasus tersebut karena adanya stigma dan ketidakadilan dalam proses penanganan. Selain itu, adanya ketidakpastian dalam proses penanganan kasus juga menjadi hambatan dalam melaporkan kekerasan seksual.
Hal ini diperparah dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan institusi pendidikan untuk menangani kasus-kasus tersebut secara transparan dan tegas.
Fasilitas yang ada di kampus sering kali tidak cukup untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Survei yang dilakukan oleh Kemendikbud menunjukkan bahwa 77% dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, tetapi 63% dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut (https://www.setneg.go.id, 2024).
Kampus sering kali tidak memiliki komitmen yang cukup dalam mengatasi kekerasan seksual. Hal ini menyebabkan upaya pencegahan dan penanganan yang tidak terstruktur dan tidak holistik, yang pada akhirnya menjadi sia-sia.
Selain itu, faktor hierarki atau rekasi kuasa dan ketergantungan akademik membuat banyak korban merasa enggan melaporkan kasus kekerasan seksual karena takut akan dampak negatif terhadap studi atau karier mereka.
Faktor ini dikondisikan oleh adanya budaya patriarki yang sangat mengakar kuat. Budaya patriarki yang sangat mengakar di kampus menyebabkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa.