Kepala Daerah dan Dinamika Penyusunan APBD: Proses Demokrasi yang Rentan Korupsi dan Kolusi
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 merupakan proses demokrasi yang esensial dalam memilih pemimpin daerah yang berkompeten.
Salah satu tugas utama pemimpin daerah terpilih adalah mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menjadi dasar pembiayaan proyek dan program daerah.
APBD merupakan rancangan keuangan tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah dan harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebagai dokumen keuangan tahunan, APBD bertujuan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan umum dan berfungsi sebagai pedoman utama untuk menentukan pengeluaran dan pendapatan daerah, yang kemudian diatur dalam Peraturan Daerah.
Selain itu, APBD juga memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, perencanaan pembangunan daerah, serta perizinan pengeluaran di masa yang akan datang. Tanpa penyusunan APBD, proyek-proyek jangka panjang yang direncanakan di daerah dapat terhenti.
Celah Korupsi dan Kolusi Penyusunan APBD
Dalam proses penyusunan atau perubahan APBD, seringkali muncul permasalahan yang kompleks, termasuk korupsi dan kolusi.
Riset yang dilakukan oleh Gabriel Lele (2020) menunjukkan bahwa korupsi dan kolusi dalam penyusunan atau perubahan APBD seringkali disebabkan oleh celah dalam kelembagaan demokrasi.
Sistem demokrasi yang ada memberikan ruang bagi aktor-aktor politik untuk melakukan korupsi.
Dalam penelitiannya, Gabriel Lele mengamati kasus-kasus korupsi dan kolusi yang terjadi pada periode 1999-2019 baik di tingkat nasional maupun daerah, termasuk kasus korupsi Wisma Atlet dan E-KTP, yang melibatkan pejabat tinggi dan anggota parlemen.
Kehadiran banyak pemegang veto dalam proses penyusunan atau perubahan anggaran (APBD) yang memerlukan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif menyebabkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan, serta memerlukan negosiasi intensif sebelum keputusan dapat diambil.