Keadilan Sosial, Transparansi dan Akuntabilitas Seleksi Akpol: Kasus Penerimaan Calon Taruna Akpol di NTT
Beberapa waktu lalu tepatnya pada tanggal 3 Juli 2024, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) mengumumkan hasil kelulusan 11 calon taruna Akademi Kepolisian (Akpol) untuk tahun ajaran 2024.
Dari 11 calon yang lulus, hanya satu yang dianggap asli NTT, yaitu Mario Christian Bernalo Tafui. Sementara itu, lima calon lainnya berasal dari suku Batak dan empat lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.
Hasil ini memicu reaksi kritik keras dari masyarakat NTT yang merasa bahwa kuota untuk anak-anak asli NTT tidak dipenuhi dengan adil.
Kritik pertama yang muncul adalah mengenai identitas dan representasi daerah. Masyarakat NTT merasa tidak adil ketika hanya satu calon dari 11 yang berasal dari NTT.
Mayoritas calon yang berasal dari luar NTT menimbulkan anggapan bahwa anak-anak asli NTT kurang diperhatikan dalam proses seleksi.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada permainan dalam seleksi, di mana kuota Polda NTT diisi oleh calon dari luar daerah.
Sebutan "Nusa Tempat Titip" dan "Numpang Titip Taruna" menjadi ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kondisi tersebut.
Identitas dan representasi daerah menjadi isu sentral karena berhubungan langsung dengan rasa keadilan masyarakat lokal.
Masyarakat NTT berharap bahwa institusi kepolisian, sebagai salah satu institusi negara yang penting, dapat merepresentasikan keberagaman dan memberikan kesempatan yang adil kepada putra-putri daerah.
Ketiadaan representasi yang memadai dari anak-anak asli NTT dalam penerimaan calon taruna Akpol mengindikasikan adanya ketimpangan dalam distribusi peluang pendidikan dan karier.