Relasi kekuasaan antara bos dan karyawan di tempat kerja sering mencerminkan ketidaksetaraan hierarkis yang melibatkan status sosial, budaya, pengetahuan, pendidikan, dan ekonomi.
Hubungan ini memusatkan kekuasaan pada bos, yang dapat menyebabkan berbagai dampak negatif bagi karyawan yang berada di posisi lebih rendah.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi karyawan adalah menolak rayuan atau permintaan tambahan dari bos, terutama ketika permintaan tersebut dirasakan tidak adil atau terlalu membebani.
Dalam struktur organisasi yang hierarkis, bos memiliki wewenang untuk membuat keputusan penting, menetapkan tujuan, mengatur strategi, dan mengevaluasi kinerja karyawan.
Karyawan, di sisi lain, diharapkan untuk mematuhi perintah, melaksanakan tugas yang diberikan, dan mencapai target yang telah ditetapkan oleh bos. Ketidaksetaraan ini diperkuat oleh perbedaan dalam pengetahuan dan pendidikan, serta status sosial dan ekonomi.
Karyawan sering kali menghadapi tekanan yang signifikan untuk memenuhi permintaan bos, bahkan ketika permintaan tersebut tidak masuk akal atau terlalu membebani.
Ketergantungan ekonomi adalah faktor utama yang memperkuat relasi kuasa yang tidak seimbang ini. Karyawan mungkin takut bahwa menolak permintaan bos akan mengakibatkan pemotongan gaji, tidak naik jabatan, atau bahkan pemecatan.
Ketakutan ini membuat banyak karyawan merasa terpaksa menuruti semua perintah bos, meskipun mereka sebenarnya tidak setuju atau merasa terbebani.
Karyawan sering kali merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi permintaan bos yang dianggap tidak adil atau tidak sesuai dengan kapasitas mereka, dan risiko yang mungkin timbul jika mereka menolak permintaan tersebut.
Ketakutan akan dampak negatif seperti pemotongan gaji, tidak naik jabatan, atau bahkan dipecat adalah alasan utama mengapa karyawan sering kali terpaksa menuruti semua perintah atasan.