Lihat ke Halaman Asli

Hen AjoLeda

pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

Pentingnya "Collaborative Governance" dalam Menangani Ancaman Siber

Diperbarui: 3 Juli 2024   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Unggahan yang disampaikan Brain Cipher, Selasa (2/7/2024), sindikat yang mengklaim berada di balik serangan ransomware ke Pusat Data Nasional sejak pekan lalu. (Foto: KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI)

Insiden peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 oleh kelompok ransomware Lockbit 3.0 pada 20 Juni 2024 telah menimbulkan dampak signifikan terhadap berbagai layanan publik berbasis digital di Indonesia. 

Serangan ini mengganggu akses terhadap 47 domain layanan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), termasuk Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), Beasiswa Pendidikan, KIP Kuliah, dan perizinan film.

Dampak lainnya termasuk penundaan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Online di Dumai, gangguan pada aplikasi Srikandi di Pemerintahan Kota Solo, serta masalah pada proses pemadanan nomor identitas dengan NPWP bagi warga asing.

Kondisi ini menekankan pentingnya peningkatan keamanan siber di seluruh instansi pemerintah dan perlunya kolaborasi lintas sektoral melalui pendekatan collaborative governance.

Collaborative governance adalah proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, dalam pengambilan keputusan yang formal dan berorientasi pada konsensus. 

Konsep ini menekankan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama melalui dialog, konsensus, dan kerjasama yang efektif. Pendekatan ini telah terbukti efektif dalam berbagai konteks, seperti pengelolaan sumber daya alam, pengembangan pariwisata, dan pengelolaan krisis . Oleh karena itu, collaborative governance menjadi sangat relevan dalam menangani insiden peretasan PDNS.

Insiden peretasan PDNS menunjukkan kerentanan sistem digital pemerintah terhadap serangan siber. Pemerintah Indonesia telah menolak membayar tebusan yang diminta oleh peretas sebesar Rp131 miliar, sementara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) masih melakukan identifikasi forensik untuk mengevaluasi dampak serangan tersebut.

Untuk memperkuat keamanan siber dan mencegah serangan di masa depan, investasi dalam teknologi keamanan yang lebih canggih, pelatihan staf, dan pengembangan kebijakan keamanan yang lebih ketat sangat diperlukan. Namun, upaya ini harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta sangat penting dalam meningkatkan keamanan siber. Perusahaan teknologi dapat menyediakan solusi inovatif dan perspektif baru yang dapat membantu memperkuat sistem keamanan. 

Selain itu, pelatihan staf di instansi pemerintah oleh pakar keamanan siber dari sektor swasta dapat meningkatkan keterampilan dan kesadaran tentang ancaman siber. Kerjasama ini dapat mencakup penyediaan perangkat lunak keamanan, analisis ancaman, dan simulasi serangan siber untuk menguji ketahanan sistem .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline