Lihat ke Halaman Asli

Hen Ajo Leda

TERVERIFIKASI

pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

Koalisi Nano-nano Pilkada 2024

Diperbarui: 31 Mei 2024   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Koalisi partai jelang pilkada. (Sumber gambar: KOMPAS/Supriyanto)

Pembentukan koalisi partai politik dalam Pilkada merupakan hal yang tak terhindarkan dan menjadi pilihan yang diperlukan. Partai-partai politik yang ingin mengusung calon kepala daerah biasanya membentuk aliansi dengan partai-partai lain dalam suatu koalisi. 

Hal ini disebabkan oleh tidak adanya satu pun partai politik yang mendapatkan suara mayoritas, sehingga setiap partai harus bekerja sama dengan partai politik lainnya.

Selain karena kekuatan politik yang terbatas, pembentukan koalisi juga diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa partai politik yang memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk koalisi. 

Dengan demikian, partai yang memperoleh suara minoritas dapat mengonsolidasikan kekuatan politik agar kandidat yang diusung mendapatkan dukungan lebih besar dan terpilih saat pilkada.

Pilihan dalam pembentukan koalisi selanjutnya berimplikasi terhadap pola dan konfigurasi koalisi yang terbentuk. Salah satu pola konfigurasi koalisi partai politik yang menonjol adalah "koalisi nano-nano". 

Pola koalisi nano-nano merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan koalisi yang sangat bervariasi dan beragam, terdiri dari partai-partai dengan ideologi yang berbeda, baik nasionalis maupun religius. Pola koalisi ini cenderung pragmatis dan kontekstual, dibentuk bukan berdasarkan kesamaan visi dan misi, tetapi lebih kepada upaya meraih kemenangan elektoral. (Nurhasim, 2018).

Sejumlah pengamat politik berargumen bahwa, munculnya pola koalisi nano-nano dalam Pilkada dikarenakan ketidakmampuan partai politik dalam membangun koalisi partai politik yang sama di daerah dalam Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, dengan format koalisi di tingkat pusat atau nasional (Aditya Perdana, 2024).

Ketidakmampuan tersebut terbentur oleh berbagai faktor, diantaranya: Pertama, dinamika politik dan kepentingan lokal. Salah satu alasan utama ketidakselarasan koalisi antara nasional dan daerah adalah dinamika politik dan kepentingan lokal yang sangat berbeda. 

Di tingkat nasional, partai-partai politik cenderung membentuk koalisi berdasarkan ideologi dan platform politik yang lebih luas dan terstruktur. Koalisi di tingkat nasional sering kali didasarkan pada upaya untuk mencapai stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif, serta memenuhi agenda kebijakan nasional yang komprehensif.

Namun, di tingkat daerah, dinamika politik cenderung lebih dipengaruhi oleh kepentingan lokal yang spesifik. Faktor-faktor seperti pengaruh tokoh lokal, basis massa, dan isu-isu regional sering kali menjadi pertimbangan utama dalam pembentukan koalisi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline