Seragam Sekolah: Antara Tren dan Beban Finansial
Belakangan ini, isu seputar seragam sekolah kembali mencuat ke permukaan. Narasi perubahan model seragam yang sempat merebak, telah membuka mata kita pada satu realita: seragam sekolah itu mahal.
Cerita demi cerita bermunculan dari para orangtua yang merasakan betapa beratnya biaya seragam bagi kantong mereka.
Bahkan, beberapa sekolah memilih untuk tidak mewajibkan seragam dan tetap dapat menjalankan proses belajar-mengajar dengan baik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Masihkah seragam sekolah relevan di era modern?
Pada awalnya, seragam diperkenalkan dengan tujuan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan menghilangkan kesenjangan sosial di antara para siswa.
Dengan mengenakan busana yang sama, diharapkan tidak ada lagi pembedaan antara kaya dan miskin, sehingga tiap siswa dapat fokus pada proses belajar.
Namun, ironisnya, mahalnya harga seragam di banyak sekolah justru memunculkan masalah baru: keluarga kurang mampu kesulitan memenuhi kebutuhan ini.
Biaya seragam sekolah yang tinggi bukan isapan jempol belaka. Tak jarang, sebuah set lengkap seragam, termasuk atribut seperti dasi dan topi, dapat menghabiskan ratusan ribu rupiah, bahkan jutaan rupiah untuk model yang eksklusif.
Belum lagi keharusan untuk membeli seragam olahraga, pramuka, atau seragam khusus lainnya. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, hal ini tentu memberatkan beban keuangan mereka.
Pro dan kontra seputar keberadaan seragam pun bermunculan. Pihak yang mendukung keberadaannya berargumen bahwa seragam membangun rasa persatuan, mendisiplinkan siswa, serta menanamkan rasa bangga pada almamater.
Sementara kubu yang kontra berpendapat bahwa seragam adalah bentuk pemborosan dan hanya akan menambah biaya pendidikan yang sudah mahal.