Pada tanggal 27 November 2024 mendatang, Indonesia akan kembali menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pilkada sebagai momentum penting yang tidak hanya berperan dalam menentukan kepemimpinan lokal tetapi juga sebagai cerminan dari dinamika perpolitikan lokal.
Dalam konteks ini, Pilkada menjadi arena eksplisit di mana kerap terjadi politisasi birokrasi. Birokrasi kerap digunakan sebagai alat untuk memenangkan kepentingan politik tertentu, menjadi sorotan kritis menjelang Pilkada 2024.
Berbekal pada pengelaman Pemilu 2024, bahwa masih ditemukan oleh Bawaslu RI ada 33 kasus pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilu 2024 (Kompas.id, 6 Januari 2024).
Oleh karena itu, momentum Pilkada serentak tahun 2024 perlu diwanti-wanti atas praktik politisasi birokrasi yang bakal terjadi.
Keterlibatan birokrasi dalam ranah politik yang seharusnya bersifat netral dan profesional, agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang mengganggu efektivitas pelayanan publik.
Persoalan ini tidak hanya mengancam integritas dan profesionalisme pelayanan publik, tetapi juga mendasar dalam menentukan arah tata kelola pemerintahan yang efektif dan bersih dari konflik kepentingan.
Dinamika Politisasi Birokrasi di Indonesia
Politisasi bukanlah fenomena baru dalam sejarah Indonesia. Sejak era feodal hingga masa reformasi, birokrasi sering kali menjadi alat bagi penguasa untuk mempertahankan dan memperluas pengaruhnya.
Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam politik praktis, baik secara terang-terangan maupun terselubung, menunjukkan bahwa garis pemisah antara birokrasi dan politik telah menjadi samar.