Dibalik layar kemeriahan pesta demokrasi yang seringkali disebut sebagai pesta rakyat wong cilik, ada sebuah kisah cerita yang sangat menarik. Cerita itu bukan soal kemeriahan atau senyum sumbringan pemilih yang ikut serta dalam menandai tinta di jemari, juga bukan soal "huru-hara"peserta pemilu dalam gawean lima tahunan ini.
Namun, kisah ini adalah kisah sekelompok orang, yang oleh sebagian orang nobatkan sebagai "pahlawan" yang bekerja keras untuk memastikan jalannya proses demokrasi, yaitu petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kerja-kereja mereka: sebelum, selama dan setelah pemilu, menunjukkan mereka adalah garda terdepan dalam mengawal demokrasi.
Setiap KPPS terdiri dari satu ketua dan enam anggota, masing-masing dengan tanggung jawabnya sendiri. Mereka bertanggung jawab sejak pendistribusian DPT, persiapan logistik hingga penghitungan suara. Semunya dikerjakan tanpa henti selama lebih dari 24 jam, tanpa istirahat, hanya untuk memastikan proses demokrasi berjalan lancar.
Sebelum hari pemungutan suara, mereka mengurus distribusi undangan DPT, melibatkan kepala RT dan kepala lingkungan setempat jika jumlah undangan mencapai ratusan. Sehari sebelum pemungutan suara, mereka harus memastikan dan mempersiapkan tempat pemungutan suara, termasuk tenda, kursi, meja, dan papan pengumuman, serta koordinasi untuk keamanan.
Pada saat perhitungan suara yang dimulai pukul 13.00, anggota KPPS membantu ketuanya dalam perhitungan suara, hingga memastikan pemilih mencelupkan tinta di jari dan meninggalkan TPS dengan benar. Hampir semua TPS rata-rata menyelesaikan tugas lebih dari pukul 02.00 dini hari.
Namun, di balik segala kerja keras itu, ada kisah-kisah yang jarang terdengar tentang peran sebagai petugas KPPS. Cerita kelelahan, letih, lesu dan berbeban berat, intimidasi hingga hilangya nyawa sebagian anggota KPPS menjadi sorotan utama.
Mereka harus rela berada di lokasi pemungutan suara sejak pagi hingga larut malam, bahkan sampai pagi hari berikutnya untuk melakukan penghitungan suara. Mereka harus tetap waspada meskipun badan sudah terasa lelah dan pikiran mulai linglung oleh kelelahan. KPU merilis data jumlah petugas pemilu yang jatuh sakit akibat kelelahan yakni 3.909 orang, diantaranya PPK 119 orang, PPS 596 orang, KPPS 2.878 orang dan Linmas 316 orang.
Selain menghadapi kelelahan fisik, mereka juga mengalami intimidasi dari berbagai pihak yang ingin memengaruhi hasil pemilu. Mulai dari upaya intimidasi verbal hingga ancaman fisik, para petugas KPPS harus tetap tegar menjaga integritas dan netralitas dalam menjalankan tugas mereka (Kompas.com, 16 Februari 2024).
Cerita tragis juga menyelimuti perjalanan para petugas KPPS dalam pemilu. Beberapa di antara mereka harus rela mengorbankan nyawa dalam menjalankan tugasnya. Data dari KPU menunjukkan terdapat 35 petugas pemilu meninggal dunia pada periode 14-15 Februari 2024, diantaranya PPS 3 orang, KPPS 23 orang dan Linmas 9 orang. Kasus tersebut terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Medan, Klaten, Kendal, Koja, Bogor, Ponorogo, hingga Tangerang dan NTT (Kumparan.com, 16 Februari 2024).
Berita kelelahan, intimidasi hingga meninggalnya para petugas KPPS saat pemilu 2024 menjadi pukulan berat bagi keluarga dan rekan-rekannya. Namun, semangat untuk melanjutkan tugas tidak luntur meskipun rasa sedih dan kehilangan itu begitu mendalam.