Konsep meritokrasi pertama kali di populerkan oleh Michael Young dalam The Rise of the Meritocracy (1958), bahwa meritokrasi diartikan sebagai satu pandangan dalam penentuan jabatan didasarkan pada pencapaian dan kualifikasi seseorang, bukan pada kedudukan sosial atau kekayaan atau faktor-faktor lain seperti keturunan dan hubungan politik.
Dalam kajian ilmu manajemen dan tatakelola, konsep meritokrasi kemudian dikembangkan dengan konsep merit-system, sebagai sistem di mana penarikan atau promosi seseorang dalam menempati posisi jabatan tertentu tidak didasarkan pada faktor-faktor seperti hubungan kekerabatan, patronase, atau afiliasi golongan tertentu, tetapi lebih didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman yang dimiliki oleh individu tersebut.
Dalam praktik pemerintahan, konsep meritokrasi telah menjadi pilar utama dalam banyak sistem pemerintahan modern. Negara-negara seperti Singapura dan Jerman dikenal karena menerapkan prinsip meritokrasi dalam struktur pemerintahan mereka. Prinsip ini diyakini dapat menciptakan lingkungan politik yang adil, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan politik berdasarkan usaha dan kualitas mereka.
Kendati demikian, sebagaimana realitas yang terjadi di Indonesia, bahwa dalam sistem politik dan pemerintahan kita seringkali tidak sejalan dengan konsep yang diharapkan. Proses sirkulasi jabatan dan kedudukan seseorang dinilai dan diakui seringkali tidak berdasarkan prestasi dan kontribusi yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, namun lebih berdasarkan faktor-faktor seperti hubungan pribadi atau atau afiliasi politik. Hal ini terjadi bukan karena implemantasinya yang salah, tetapi lebih karena faktor tarik-menarik kepentingan.
Kajian para ahli menunjukan bahwa, di Indonesia, dalam sistem politik pemerintahan, struktur dan proses dalam menjalankan lokasi nilai-nilai dan sumber daya kekuasaan dan kepentingan masih didominasi oleh sekelompok kecil golongan, yang disebut Oligarki (Winters, 2011; Hadiz, 2000).
Oligarki, sebagai golongan yang memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi dan keuangan, sering kali mendominasi panggung politik dan pemerintahan, meskipun dalam sistem demokrasi. Oligarki kemudian menghasilkan pengambilan keputusan yang tidak adil dan merugikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Penerapan meritokrasi yang baik, juga sebagai sistem untuk menghalangi oligarki, ketika promosi politik didasarkan pada pencapaian dan kualifikasi individu, hal ini dapat membatasi kekuasaan kelompok elit yang mencoba memanipulasi sistem politik. Namun, dalam kenyataannya, sistem meritokrasi politik seringkali rentan terhadap penetrasi oligarki.
Oligarki dapat memanfaatkan kelemahan dalam sistem meritokrasi, seperti kurangnya transparansi dalam proses seleksi atau penunjukan, untuk memastikan bahwa individu-individu yang mendukung kepentingan mereka ditempatkan di posisi kekuasaan. Mereka juga dapat menggunakan kekayaan mereka untuk memberikan keunggulan kepada kandidat yang mewakili atau mendukung agenda mereka.
Sebagaimana diterangkan oleh Jefri Winters (2011) bahwa, oligarki di indonesia telah menguat pasca reformasi. Sirkulasi elit melalui pemilu ataupun pilkada telah menguatkan oligarki dalam sistem politik dan pemerintahan, yang kemudian dapat mengontrol semua keputusan dan kebijakan politik termasuk proses penempatan jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan.
Oleh karena itu, untuk menghindari pembentukan oligarki dalam sistem meritokrasi politik, selain melalui langkah-langkah seperti transparansi, akuntabilitas atau pengawasan setiap proses seleksi dan penunjukan dalam pemerintahan, atau melakukan reformasi kebijakan dan sistem hukum atau melalui digitalisasi, juga perlunya partisipasi aktif dari masyarakat sipil dan media independen.