Beberapa waktu lalau, konferensi pers Panggung Rakyat bertajuk "Bongkar", yang merupakan kolaborasi jejaring komunitas seniman, budayawan, akademisi, mahasiswa, aktivis, pegiat anti korupsi, pejuang hak asasi manusia (HAM), korban pelanggaran HAM, dan tokoh masyarakat, diselenggarakan di Jakarta (Kompas, 7 Desember 2023).
Pada acara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Kamis (7/12/2023), mengatakan, demokrasi di Indonesia tengah dalam proses resesi yang ditandai dengan melemahnya kebebasan berekspresi. Tidak adanya oposisi aktif di parlemen juga membuat kekuasaan berjalan tanpa control (Kompas, 7 Desember 2023).
Pasalnya, dalam perpolitikan Indonesia belakangan ini terlihat lawan politik mudah masuk kabinet atau bergabung dengan pemerintahan. Kondisi ini bisa berdampak pada absennya partai oposisi yang mengontrol dan mengkritisi pemerintahan (https://regional.kompas.com, 2023)
Absennya partai oposisi membuat demokrasi Indonesia tidak sehat, karena tidak hadirnya check and balances, yang kemudian membuat pemerintah bisa mengkonsolidasikan kekuasaan. Imbasnya adalah kontrol terhadap pemerintahan menjadi tidak maksimal.
Sejumlah pengamat menilai, tendesi ini sudah terjadi sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2019 dan dimungkinankan akan terulang lagi pemilu 2024. Budaya politik dan sistem politik semacam ini kemudian menegaskan adagium klasik bahwa di dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi.
Sebagaimana kita saksikan dalam ranah politik di Indonesia, hubungan antara partai politik cenderung tidak konsisten dan terus berubah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa yang merupakan lawan atau sekutu politik yang konstan dalam jangka panjang. Sebab, ideologi dan karakter hampir semua partai politik di Indonesia cenderung moderat dan pragmatis. Sehingga nyaris tidak ada perbedaan antara satu partai dengan lainnya (Wahid Abdulrahman, 2023).
Dalam konteks saat ini misalnya, koalisi untuk pilpres 2024, meskipun hari ini mereka bersebrangan dan berbeda kubu, namun pasca pilpres partai-partai tersebut bisa masuk menjadi bagian dari pemerintahan. Kemudian Presiden yang terpilih akan mengkonsolidasikan kekuasaan dengan partai-partai tersebut untuk masuk dalam pemerintahan dan tentunya kemudian akan mengendalikan lebih dari mayoritas DPR.
Wahid Abdulrahman (Kompas, 2023) menakar pola koalisi pasca pilpres 2024 bahwa misalnya partai politik seperti PKB, Nasdem, dan PKS yang saat ini memiliki orientasi politik yang berbeda dengan partai yang mendukung Prabowo Subianto, jika kemudian Prabowo memenangkan pilpres, partai-partai tersebut bisa saja bergabung atau mendukung keikutsertaan mereka dalam kabinet pemerintahan, sementara PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) mungkin berada di luar pemerintahan.
Jika sebaliknya Ganjar Pranowo memenangkan pilpres, mereka yang awalnya berseberangan bisa juga bergabung dalam pemerintahan. Bahkan ada kemungkinan bahwa posisi Presiden Jokowi tetap menjadi bagian dari PDI-P, namun bisa saja nanti menggandeng pihak lain dalam pemerintahan. Hal ini menunjukan dinamika politik yang sangat beragam dan tidak dapat diprediksi dengan pasti di Indonesia.
Dinamisnya perpolitik yang direpresentasikan oleh watak dan karakter partai-partai politik di Indonesia menerangkan bahwa, partai-partai politik berada dalam relasi kerjasama antagonistis. Artinya bahwa elit partai senantiasa berusaha untuk menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun pada akhirnya terdapat rivalitas di antara elit yang bersinggungan, begitupun sebaliknya elit akan mengakhiri rivalitas dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan (Pradana, 2018).
Relasi kerjasama antagonistis diantara partai-partai politik menunjukkan kesetiaan politik antara partai-partai tidak memiliki kestabilan yang tinggi dan lebih dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis. Kurangnya kesetiaan politik yang konsisten dalam jangka panjang membuat dinamika politik di Indonesia cenderung lebih volatil dan sulit diprediksi.