Hakim memiliki posisi sentral dengan kewenangan yang besar, hingga independensinya harus dijamin. Instrumentarium hukum bagi seorang hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mengadili, memutus suatu perkara yang diperhadapkan kepadanya harus terbebas dari segala interfensi lingkungan atau kaum yang membawa kepentingan minoritas, terbebas dari tekanan masyarakat bahkan media sekalipun.
Kebebasan berpendapat yang diberikan oleh Negara ini terkadang membawa hakim keluar dari independensinya sendiri. Peran media yang terkadang terlalu dalam menggali sebuah kasus, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpendapat tentang sebuah kasus terkadang menyeret hakim untuk memutus perkara dibawah tekanan yang ditimbulkan oleh masyarakat dan awak media itu sendiri.
Pada dasarnya Hakim bukanlah manifestasi dari hukum itu sendiri, yang dalam melaksanakan fungsinya hanya sekedar menjadi Penerap hukum dengan metode silogisme semata (terompet/corong undang-undang), melainkan penerap, penemu (judge lawfinding) dan dapat membentuk hukum (judge made law) dengan tetap memprioritaskan tujuan hukum itu, baik dari segi kepastian, keadilan dan atau kemanfaatannya.
Oleh karenanya, Hakim harus diberi kebebasan dalam melaksanakan fungsi yudisialnya, tidak boleh terikat hanya pada hukum dan kaum yang sarat dengan dominasi kepentingan pribadi agar kiranya tetap tercipta keputusan yang adil dan bijaksana.
Dalam merepresentasikan marwah seorang hakim, maka diperlukan jaminan hukum agar hakim terbebas dari interfensi , bentuk intimidasi dan ancaman dari kekuasaan dan kekuatan pemaksa lainnya yang dapat mengambil otoritas atas beban psikologi dan psikisnya sehingga mempengaruhi hakim sewaktu sedang mengadili mapun setelah dijatuhkannya putusan.
Secara normative hal tersebut telah diatur dalam serangkaian peraturang perundang-undangan diantaranya Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang memperkenalkan Contempt of Court (CoC) dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan KY Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim yang membahas mengenai ruang lingkup PMKH.
Hal ini menarik kemudian ditemukan ketika mendalami lebih lanjut terkait Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim (PMKH) dan Contempt of Court (CoC), dimana secara teoritis, definisi dan legalitas keduanya berbeda.
PMKH adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang menganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun diluar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.
Dalam artian bahwa PMKH berfokus pada perlindunga terhadap hakimnya sedangkan CoC berpusat pada perlindungan terhadap proses pengadilannya. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata praktek atau implementasi, bentuk CoC dan PMKH itu hamper tak bisa dibedakan karena orientasi keduanya adalah merendahkan peradilan dan hakimnya yang telah menjadi satu kesatuan sehingga berakhir pada tercorengnya hukum yang dicita-citakan.
Sehingga bagi pemerhati hukum perlu untuk memberikan atensi yang seimbang terhadap PMKH dan CoC, agar kiranya kedua hal tersebut bisa terhindarkan karena jika melihat doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha untuk mempengaruhi hasil suatu pemeriksaan peradilan), disobeying a court order (tidak mematuhi perintah pengadilan), scandalizing in court (skandal dalam peradilan) dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan baik melalui sikap/ucapannya), maka urgensi PMKH dan CoC adalah sama pentingnya..
Maraknya perbuatan merendahkan kehormatan hakim dilatarbelakangi oleh rendahnya edukasi masyarakat tentang hal tersebut, masyarakat tidak paham tentang PMKH atau CoC itu sendiri yang bahkan lebih dulu diperkenalkan, masyarakat juga tidak tahu tentang tindakan dan perilakunya yang mana yang termasuk dalam kategori PMKH.