Lihat ke Halaman Asli

Buku dan Saya

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1302757227719160852

Sebenarnya saya belum lama menggeluti dunia baca dan buku. Bisa dibilang masih pemula. Sewaktu kecil buku yang saya baca adalah buku-buku ayah saya yang sering beliau pakai buat khotbah. Bukan buku seperti tafsiran alkitab, tetapi saya suka buku-buku renungan yang kebanyakan diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Selama sekolah dan kuliah, saya tak banyak lagi mengisi hidup saya dengan membaca buku. Tidak jauh dari buku-buku sekolah dan buku pelajaran. Menjelang UMPTN pun yang saya lahap adalah buku-buku soal ujian masuk perguruan tinggi negeri yang akhirnya saya tinggalkan PTN-nya. Dulu saya masih ingat, ketika masih SD saya sedikit dimarahi sama orangtua saya karena saya berkeras dan memang kepingin banget satu buku tentang kesehatan. Seperti buku bantuan terhadap kecelakaan kecil. Buku itu ditawarkan oleh penjual yang datang dari rumah ke rumah. Buku itu sangat menarik, sebab kaya warna dan kertasnya bagus. Ukurannya juga sebesar A4. Namun harganya tidak bersahabat. Saat itu seingat saya harganya adalah Rp40.000. Cukup mahal bagi keluarga kami. Ibuku menawar kepada si penjual, namun si penjual bergeming bertahan dengan harga segitu. Demi melihat saya yang memang berkeinginan sekali untuk memiliki buku itu, ibuku mengalah. Mungkin itulah anak kecil. Tidak mau tahu darimana uang datang, yang penting keinginan terpenuhi. Saya memang melihat wajah ibu saya yang masam, tapi saya tak peduli. Buku itu begitu bagusnya, saya tak bosan melihat-lihatnya. Thanks Mommy..I love you. Pernah suatu kali bapak saya juga membelikan buku pengetahuan 101 percobaan fisika/kimia yang pasti berhasil. Bapak langsung memesan (lewat surat) ke penerbit Gramedia. Untuk ukuran kota kecil seperti kotaku, buku-buku seperti itu tidak akan tersedia di toko buku. Inilah perkenalan saya pada buku-buku di luar buku pelajaran sekolah. Perkenalan pada buku sebenarnya berawal dari perkenalan pada majalah. Bapak saya berlangganan majalah tempo dari sejak dulu. Ibu saya membaca majalah Kartini. Berhubung harganya makin mahal, Majalah Kartini diganti dengan tabloid Nova. Sedangkan saya dan adik-adik saya berlangganan majalah Bobo. Dalam hal inilah saya kagum dengan didikan orangtua saya. Kami tidak dibelikan video game atau video player.  Padahal saat dulu kami cukup iri dengan teman-teman yang bercerita di sekolah tentang video yang mereka tonton seperti Gaban. Dan macam-macam permainan di Video Game seperti Mario Bros. Mario Bros temannya Luigi (nggak penting).  Bahkan di kala penggunaan parabola yang kian marak, rumah kami yang salah satunya yang tidak terpasang. Harap maklum, kehidupan di asrama polisi memang tidak enak. Godaan begitu tinggi, tapi orangtua saya punya prinsip tidak mendidik lewat tontonan tapi lewat bacaan. Kalau sewaktu sekolah dan kuliah, saya mungkin terpaksa tidak berbelanja buku, sebab kiriman orangtua saya cukup untuk hidup, dan saya harus berbagi dengan kedua adik saya yang juga butuh buat sekolah. Sekarang setelah saya sudah bekerja. Saya bersyukur bisa menyisihkan uang untuk membeli buku. Buku yang membuat saya berselera membaca lagi setelah sekian lama vakum adalah eng..ing...eng...adalah laskar pelangi. Entah kenapa saya persahabatan ikal dan kawan-kawan itu sungguh menyentuh saya. Saya teringat dengan sahabat saya sebangku dulu di SD. Kami sama-sama suka membaca. Dulu jangankan membayangkan perpustakaan, bukunya aja susah. Karena itu ketika saya dan sahabat saya mendapat buku (terbitan balai pustaka kayaknya) dari kantor depdikbud untuk sekolah kami. Rasanya senang sekali. Kami sering membaca selama guru menerangkan di depan kelas. Buku di letakkan di tengah, nanti siapa yang terakhir selesai di halaman buku sebelah kanan, ia akan memberikan kode supaya membalik ke halaman berikutnya. Saya sudah lupa baca buku apa aja dengan metode seperti itu, tapi yang saya ingat justru momen bacanya, bukan buku apa yg dibaca. Jadi itulah perjumpaan saya (kembali) dengan buku. Sekarang koleksi saya bertambah. Saya tidak pernah menghitung secara fisik, tetapi setiap bulan paling tidak ada satu dua judul yang saya beli. Saya bersyukur di jakarta sering ada pesta buku, sehingga lumayan menghemat pengeluaran jika membeli buku-buku incaran. Setelah banyak yang saya baca, saya merasa makin banyak yang saya tidak tahu, semakin saya cari tahu, semakin banyak yang tidak tahu selama ini. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa keinginan untuk mencari tahu mengalahkan kebodohan. Satu lagi cita-cita saya sewaktu kuliah, saya ingin bisa menulis. Ketika mahasiswa saya mencoba menulis di buku harian, malah saya kebanyakan cerita yang nggak jelas. Saya hentikan menulis buku harian saya ketika saya pun tidak lagi privasi. Buku harian itu entah dimana. Namun satu hal yang saya dapatkan adalah kita banyak tahu dengan membaca, namun lebih banyak lagi jika kita menulis. Inilah kelebihan menulis. Jauh lebih banyak hal yang ia dapatkan, sebab setelah membaca suatu buku, akan muncul pertanyaan, setelah muncul pertanyaan, selanjutnya mencari tahu lewat buku lain atau lewat google. Inilah yang disebut gairah. Gairah membuat hidup menjadi lebih bersemangat. Hasil dari mencari tahu inilah yang akhirnya saya tulis lewat review. Simpulan yang saya buat akan suatu buku saya buat reviewnya, walau mungkin simpulan saya sangat subyektif karena pengetahuan saya juga terbatas. Namun gairah menulis dengan gaya saya sendiri saya latih dengan menulis review untuk setiap buku yang saya baca. Menulis review buku bagi saya adalah sarana berlatih dan bentuk tanggung jawab atas uang yang saya keluarkan. Inilah keajaiban buku dalam hidup saya. Trimakasih pada orang-orang yang menyediakan buku dari saya sejak saya kecil hingga nanti saya mati. Jkt,14042011 (mengenang Rosihan Anwar) Helvry http://blogbukuhelvry.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline