Lihat ke Halaman Asli

Helsa Gita Fransisca

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Budaya Patriarki Dorong Masyarakat Adat Suku Mentawai dalam Kegelapan Hukum

Diperbarui: 31 Maret 2024   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Suku Mentawai, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, merupakan suku  yang dikenal dengan warisan budaya dan tradisi yang unik, seperti sistem kepercayaan, upacara adat, dan seni tradisional seperti seni ukir kayu dan tato Mentawai. Meskipun kaya akan keunikannya itu, ternyata dalam struktur sosial suku Mentawai masih kental akan budaya patriarki, di mana laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih dominan dalam berbagai aspek dibanding perempuan. 

Dalam konteks ini, kekuasaan atau kendali perempuan terhadap kehidupan atau tubuh mereka sering kali dibatasi. Hal ini membuat perempuan rentan terhadap kejahatan seksual yang mungkin dilakukan oleh laki-laki yang memiliki otoritas dalam masyarakat adat. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan gender sering kali terjadi di lingkungan masyarakat adat Mentawai sebagai dampak dari dinamika budaya patriarki tersebut.

 Kekerasan seksual terhadap anak perempuan suku Mentawai

 Kasus kekerasan seksual di suku Mentawai sering kali diselesaikan melalui sistem adat, hal tersebut dikarenakan masyarakat cenderung menghindari stigma yang melekat pada perempuan sebagai korban kekerasan seksual, kuatnya budaya patriarki, dan kurangnya pemahaman masyarakat adat terkait kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. 

Akibat dari hal tersebut, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, hak-hak mereka sering diabaikan, sehingga proses hukum adat cenderung tidak menguntungkan korban. Denda adat yang diberikan sebagai hukuman yang diberlakukan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan sama sekali tidak memihak korban, sehingga menyebabkan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

 Seperti halnya kasus yang dialami oleh seorang anak perempuan tuli dan penyandang disabilitas suku Mentawai, anak perempuan tersebut mengalami kekerasan seksual oleh sepupunya yang membuatnya hamil dan melahirkan seorang anak. Kejadian itu menimbulkan trauma bagi korban, dan korban sama sekali tidak mendapatkan keadilan. 

Kasus tersebut diselesaikan melalui tulou atau denda adat, yaitu mekanisme penyelesaian melalui hukum adat Mentawai yang sudah turun-temurun. Pelaku dihukum untuk membayar denda adat dengan menyerahkan dua ekor babi jantan, dua kubik kayu, dan gergaji mesin. Kemudian kasus tersebut dianggap selesai. 

Pelaku sama sekali tidak memberikan nafkah pada anaknya, sehingga korban harus berjuang sendirian menjadi orang tua tunggal demi menghidupi anaknya. Kuatnya budaya patriarki suku Mentawai menjadikan posisi perempuan sangat lemah. Sehingga dalam menyelesaikan kekerasan seksual, seringkali hanya dengan membayar denda maka akan dianggap selesai sementara hak pemulihan korban tidak diperhatikan.

Denda Adat yang Tidak Dapat Menjamin Hak Korban

 Dari kasus tersebut, dapat dilihat bahwa denda adat dalam suku Mentawai tidak lagi memberikan keadilan dan pemulihan yang layak bagi korban. Pada awalnya, denda adat diterapkan dengan niat baik, yaitu untuk menghukum pelaku kejahatan dengan cara membuat mereka kehilangan harta untuk membayar denda adat sebagai bentuk ganti rugi pada korban dan agar pelaku merasa malu di hadapan masyarakat. 

Denda adat seharusnya berfungsi sebagai kontrol sosial dan sanksi untuk mencegah terjadinya kejahatan serta memulihkan hak korban. Namun seiring berjalannya waktu, tujuan dari penerapan denda adat telah berubah. Banyak kasus kekerasan yang disembunyikan oleh kepala desa karena dianggap telah merusak citra desa, terutama saat desa ingin menunjukkan kepada pemerintah pusat bahwa mereka peduli terhadap perlindungan anak dan perempuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline