Revisi Undang-Undang Desa yang disahkan oleh Presiden Jokowi pada 28 Maret 2024 lalu, merupakan langkah yang sangat dinantikan. Namun, apakah revisi ini benar-benar menyentuh inti permasalahan yang dihadapi oleh desa dan masyarakatnya?
Dari sisi kebijakan, revisi ini memang memberikan beberapa perubahan signifikan. Tunjangan kepala desa, penghasilan bulanan, hingga jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan menjadi sorotan utama. Tidak hanya itu, perubahan terkait masa jabatan kepala desa yang kini diperpanjang menjadi 8 tahun juga menarik perhatian.
Namun, di balik itu, ada beberapa aspek yang masih ditinggalkan. Lembaga Mediasi Desa yang seharusnya berperan aktif sebagai penengah, kemandirian desa yang perlu diperkuat, serta sengketa lahan dan waris di desa, tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan. Selain itu, tumpang tindihnya kewenangan perangkat desa juga menjadi kekhawatiran tersendiri.
Akademisi menilai bahwa pemerintah terlalu fokus pada kepentingan perangkat desa tanpa menyentuh permasalahan yang lebih kompleks yang dihadapi oleh masyarakat. Revisi ini seolah-olah hanya menyentuh permukaan dari permasalahan yang lebih dalam.
Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan birokrasi desa, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat secara lebih luas. Revisi Undang-Undang Desa seharusnya menjadi momentum untuk merumuskan solusi yang komprehensif bagi semua pihak yang terlibat, bukan hanya sekadar memperpanjang masa jabatan atau menambah tunjangan.
Revisi Undang-Undang Desa yang baru saja disahkan oleh Presiden Jokowi telah mencuri perhatian, namun, bukan tanpa sorotan kritis. Salah satu aspek yang paling kontroversial adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun, bahkan bisa mencapai 16 tahun jika terpilih kembali dalam Pilkada.
Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ucu Martanto, seorang dosen akademisi Ilmu Politik di Universitas Airlangga, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak perpanjangan masa jabatan ini terhadap dinamika politik desa. Ia menyoroti bahwa politik di level desa sangatlah berbeda dari tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional. Dalam konteks desa, hubungan personal memegang peran besar, yang bisa memunculkan praktik nepotisme dan konflik kepentingan.
Penting untuk diwaspadai adalah potensi terbentuknya dinasti politik di tingkat desa. Ketika satu kepemimpinan berlanjut ke anggota keluarga atau kerabat dekat, demokrasi yang diharapkan bisa terancam. Sunaji Zamroni, seorang peneliti dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, juga menggarisbawahi risiko besar terkait praktik KKN dan potensi perpecahan akibat kepercayaan masyarakat yang terkikis.
Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan implikasi negatif dari kebijakan tersebut. Meskipun undang-undang telah disahkan, pemantauan dan evaluasi berkala harus dilakukan untuk memastikan bahwa pemerintahan desa berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat desa secara keseluruhan.
Langkah yang diambil oleh DPR dalam merevisi Undang-Undang Desa terkait pemilihan kepala desa telah menarik perhatian banyak pihak. Salah satu perubahan yang signifikan adalah terkait ketentuan bahwa kepala desa akan terpilih secara langsung jika tidak ada calon yang maju dalam proses pemilihan.
Pasal 34A UU Desa mengatur bahwa minimal harus ada dua calon kandidat dalam proses pemilihan kepala desa. Namun, jika dalam tenggat waktu yang ditentukan tidak ada calon lain yang mendaftar, maka waktu pendaftaran akan diperpanjang. Jika situasi ini masih tidak berubah, kepala desa akan terpilih secara otomatis.