Lihat ke Halaman Asli

Rame-rame Skandal Pejabat

Diperbarui: 1 April 2016   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pejabat konon wali rakyat. Kepadanya, bukan hanya tersemat kekuasaan. Namun, sekalian harapan orang banyak. Mereka terdorong untuk percaya. Lalu, tergerak untuk menentukan pilihan (vote) di bilik (-bilik) pencoblosan bernama "TPS". Singkatan, yang menurut aturan perundang-undangan PEMILU, berarti "Tempat Pemungutan Suara". Bukan "Tempat Pembuangan Sampah".

Lima tahun sekali, jika normal, kita ramai-ramai terlibat dalam 'ritual'. Posisinya ; bisa jadi hanya sebagai penonton atau aktor--entah dalam status "tim sukses" yang dirancang se-serius mungkin atau justru yang disukseskan. Di wilayah ini, sekali lagi, peraturan perundang-undangan PEMILU menjamin kedua pilihan tersebut. Kita dipersilakan memilih salah satu, meski kedua-duanya dibenarkan. 

Batas Undang-Undang

Hanya, masalahnya, Undang-Undang tetap Undang-Undang. Berbatas. Setidaknya, yang kentara ; (1) produk bikinan manusia. Terus, (2) berupa lembaran tertulis yang nota bene (benda) mati. Bukan apa-apa bila tidak ditaati. Plus, tidak berdaya secuilpun, jika tidak ditegakkan. Begitulah, Undang-Undang sayangnya bukan sejenis makhluk macam Batman yang gagah membasmi penjahat di Gotham. 

Dengan demikian, hemat saya, jika ada pejabat yang berkhianat, rasa-rasanya bukan salah Undang-Undang. Pun, jika rame-rame skandal pejabat tercium dimana-mana, keliru juga bila yang jadi kambing hitamnya adalah Undang-Undang. Logisnya, bagaimana bisa?! Kan, yang bikin sekaligus yang melanggar, itu-itu juga. Manusia.

Maka, bila booming kasus "Bupati sehari" yang kedapatan pesta narkoba di rumah dinas, ya mari tunjuk hidung pelakunya. Dia yang salah. Sama halnya untuk skandal cinta a la anggota DPRD pamekasan yang sekarang lagi hits. Dia pula yang semestinya ditunjuk salah. Bukan yang lain. 

Soal Revisi UU Pemilu

Saya tetap haqqul yaqin dan setuju jika Undang-Undang PEMILU kita perlu dibenahi. Kan, memang mestinya begitu sebagai sebuah aturan main (rule of game). Bila kita ingin demokrasi yang baik dan berkelanjutan, maka aturan mainnya pun perlu disesuaikan dengan tujuan. Tidak bisa tidak. Sebab, seperti kita tahu, demokrasi bukan relasi raja dan hamba. Tetapi, konsensus. Jadi, ketika Undang-Undang tidak menjamin itu, maka artinya ada yang salah. 

Tetapi, jangan pula atas nama demi aturan main yang mantap, Undang-Undang Pemilu jadi 'mainan'. Atau malah, jadi alat tawar-menawar kepentingan. Dan mirisnya, bila terjadi perkeliruan, Undang-Undang pula yang dilambungkan sebagai alibi!

Meski klise, memang akhirnya dikembalikan kepada si manusianya sendiri ; yang membuat sekaligus menjalankan Undang-Undang. Bila disederhanakan, poin krusialnya adalah kerelaan untuk berkomitmen pada produk bikinannya sendiri! Malu dong sama bait lagu dangdut ; "kau yang berjanji, kau yang khianati".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline