Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan wujud pengabdian seorang mahasiswa kepada masyarakat setelah banyak memperoleh ilmu di bangku perkuliahan. Dalam KKN pula akan terlihat, bagaimana peran seorang mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Kali ini penulis mengambil pelaksanaan di Kabupaten Banyuwangi yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang terkenal akan wisata yang sangat banyak dan buah naganya. Namun, KKN Universitas Jember kali ini cukup berbeda dikarenakan adanya wabah pademi covid19, yang mengakibatkan mahasiswa ditugaskan untuk KKN atau melaksanakan pengabdian masyarakat di desanya masing-masing. Mengusung tema KKN Back To Village, penulis melaksanakan KKN tepatnya di Desa Tegaldlimo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi.
Kali ini penulis sudah memasuki minggu ke 2 dalam pelaksaan KKN. Jika melihat dari timeline pada berita sebelumnya, maka minggu ini adalah penyelesaian permasalahan yang ada di desa dimana penulis melaksanakan KKN, yaitu di desa Tegaldlimo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi.
Permasalahan yang dialami mitra adalah menurunnya penghasilan dikarenakan susahnya mendapatkan koloni semut rangrang yang produktif di alam liar guna diambil krotonya dan dijual. Hal ini disebabkan banyaknya pencari kroto dan tidak memperhatikan keberlangsungan hidup anggota koloni semut. Para pencari kroto mengambil semua kroto yang ada di sarang tanpa menyisakannya. Hal ini berakibat habisnya generasi penerus yang bisa menggantikan generasi tua untuk bekerja dan menghasilkan telur. Ditambah penebangan hutan secara liar juga berakibat menurunnya populasi semut rangrang di alam liar.
Setelah berdiskusi yang cukup panjang dengan mitra, mulai ditemukan titik terang untuk permasalahan ini. Dalam hal ini penulis siap membantu pembuatan rak dan media sarang pendukung untuk budidaya semut rangrang. Untuk hal pertama yang akan dilakukan adalah persiapan lahan budidaya. Pembuatan rak juga dilakukan setelahnya, karena merupakan hal penting juga dalam budidaya semut rangrang dengan media botol bekas. Lalu persiapan sarang yang dimana digunakan botol bekas untuk medianya. Botol yang digunakan disini berukuran 1,5 liter. Alasannya adalah untuk lebih efisien dan mengurangi polusi botol berukuran 1,5 liter yang cukup banyak. Bisa juga digunakan media lain seperti pipa paralon dan bambu. Akan tetapi dengan mempertimbangkan hal lain maka penulis dan mitra sepakat untuk menggunakan botol berukuran 1,5 liter. Hal selanjutnya adalah pencarian koloni di alam liar. Ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Banyak cara mendapatkan koloni semut rangrang, bisa dengan beli dan mencari di alam. Penulis dan mitra tidak membeli dikarenakan kendala biaya. Dan hal selanjutnya adalah pemindahan semut ke rak dan media saran. Maka masa perawatan adalah proses yang harus dilakukan setelah semua proses di awal sudah selesai.
"Sangat menarik meskipun kroto belum bisa dipanen dikarenakan kita berfokus untuk memperbanyak koloni dulu, bisa dipanen tapi sayang masih sedikit dan salut dalam pemanfaatan botol bekas sebagai media bersarang semut", kesan dari mitra KKN. "Semoga pandemi segera berakhir dan KKN kembali normal 45 hari, KKN yang berkurang 15 hari eman dikarenakan pasti banyak ilmu yang terlewat dalam 15 hari tersebut, kita yang berada di desa ini masih haus ilmu dari luar" ujar mitra KKN. Dari tanggapan mitra KKN bisa dimengerti bahwasanya kegiatan yang sudah dilakukan penulis dan mitra menarik dan bermanfaat bagi mitra.
Kedepan penulis akan berkolaborasi lebih dengan mitra untuk pengembangan teknik budidaya semut rangrang dengan menggunakan media botol bekas di Desa Tegaldlimo. Dengan tujuan agar masyarakat sekitar bisa mendapatkan pemasukan tambahan dan bisa menjadi solusi di masa pandemi seperti ini. (Helmi Ardiawan/Tegaldlimo/L. Dyah Purwita WSWW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H