Lihat ke Halaman Asli

Sumpah “Sampah” Anggota Dewan

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demi Tuhan (atas nama kepercayaan masing-masing) saya bersumpah berjanji : bahwa saya akanmemenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, bahwa saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakan Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa saya akan menegakan kehidupan berdemokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara Kesatua Republik Indonesia. Secara garis besar demikianlah kira-kira gambaran ikrar yang disumpahkan oleh anggota dewan dalam pelantikan anggota dewan kemarin. Sebenarnya ada yang menarik dari prosesi pelantikan jabatan anggota dewan itu, bahkan cenderung ganjil menurut saya, mengapa? Karena dilihat dari tata cara pelantikan itu sendiri bila dilihat dari sisi agama (saya ambil dari sudut pandang islam) maupun Bahasa Indonesia itu sendiri bahwa penggunaan kata “demi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak dijelaskan secara rinci pengertian dari kata “demi” itu sendiri, maka sudah sepatutnya jika ada sebagian pihak yang mempertanyakan penggunaan kata-kata tersebut. Fakta dan data juga menunjukan bahwa tidak sedikit anggota Dewan yang terlibat kasus Hukum maupun korupsi, hal ini mungkin didasari dari pengambilan sumpah itu sendiri yang keliru dan tidak bermakna.

Beralih ke sudut pandang lainnya, jauh dalam pandangan islam bahwa tata cara penyumpahan seperti itu tidak dibenarkan juga, karena dalam islam tidak mengenal kata-kata “Demi Allah”, sumpah pocong, dan lain sebagainya, meskipun dibelakangnya ada penggunaan nama Allah hal itu tidak dibenarkan sama sekali dalam kacamata islam. Dalam perspektif agama islam dijelaskan bahwa sumpah itu harus dilakukan personal bukan massal seperti yang kita ketahui bersama sebagaimana pelantikan jabatan anggota Dewan kemarin, serta harus menggunakan kata-kata Wallahi, Lillahi, atau Tallahi. Tata cara penyumpahan harus dilakukan secara personal agar sumpah yang diambil dapat lebih dapat dipertanggung jawabkan, jelas, dan tanpa harus menggunakan kitab suci (Al-Qur’an) sebagai media penyumpahan. Sumpah itu sendiri seharusnya dilakukan dengan niat untuk kebaikan, oleh karena itu perlu adanya alat kontrol berupa sanksi atau konsekuensi jika melanggar sumpah tersebut, Misalnya : Apabila dalam masa tugas saya melanggar Hukum atau melakukan penyimpangan, saya bersedia diberi lakhnat oleh Allah SWT baik dunia maupun akhirat. Dengan begitu sumpah akan menjadi alat kontrol pihak yang disumpah.

Kesimpulan dari uraian diatas bahwa sumpah sebenarnya mengandung arti yang dalam tidak hanya sekedar diucapkan namun harus dipertanggung jawabkan sehingga sumpah bukan sekedar “sampah” yang mudah diucapkan namun diabaikan, yah sama dengan sampah, barang yang telah digunakan kemudian dibuang, tidakberguna, lalu dibaikan. oleh karena itu mekanisme penyumpahan harus dilakukan dengan bermakna sehingga menjadikan alat kontrol untuk dirinya sendiri dengan didasari oleh niat untuk berbuat kebajikan, dan tidak ada salahnya pula bagi anggota dewan yang mayoritas beragama muslim untuk melakukan proses penyumpahan ulang sebagaimana ketentuan yang dibenarkan oleh syariat islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline