Lihat ke Halaman Asli

Post Scriptum: Musikalitas Puisi SiLENTiUM

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Anda pernah menyimak pertunjukan musikalitas puisi? Itu adalah pembacaan puisi yang diiringi dengan musik. Jujur, saya tidak suka pertunjukan semacam itu. Syair yang dikonstruksi terlebih dulu acap dipaksa untuk masuk ke kungkungan ritme musiknya. Tidak harmonis. Saya adalah junkie musik, terutama bila tak jauh lari dari instrumen yang fundamental dalam aliran yang saya suka: rock. Di era sastra lama, puisi adalah bidang budaya yang cukup maju. Sastrawan di masa lalu adalah musisi pop di masa sekarang. Satu-satunya yang berjumlah lebih banyak dari bolong di celana kargo saya. Bahasa Indonesia yang terus berkembang membuka celah untuk permainan kata-kata. Bahasa kita yang amat sangat hybrid ini memunculkan banyak sekali celah prosa dan puisi. Nature-nya yang bukan kembangan dialek, membuat bahasa Indonesia adalah bahasa terkaya dari sisi diksi, sumbangan dari bahasa yang menyebar dari Sabang-Merauke. Bahasa Indonesia kaya sekali akan lema, bahkan jauh lebih banyak ketimbang bahasa Inggris. Sastrawan di masa lampau banyak sekali memanfaatkan diksi dan mengolah milyaran kosakata di bahasa kita. Sementara di Inggris, sastrawan mereka lebih banyak menggunakan perumpamaan dan metafora untuk siasati terbatasnya lema. Itu sebabnya, karya-karya puisi dulu menjamur di negeri kita, yang menuai aneka lomba deklamasi, pembacaan puisi, dan musikalitas puisi yang saya sebut di atas. Khusus nama terakhir, akhirnya itu memicu juga persilangan-persilangan kontributif dari dua kutub. Kolaborasi penulis lirik yang sastrawan dan musisi dulu sangat banyak. God Bless, Rollies, sampai Kantata Takwa bisa melihat celah tersebut, yang di sisi lain membuat heran juga mengapa lagu kita saat ini cenderung mengolah dari kata (dan tema) itu-itu saja. Perkenalkan, SiLENTiUM. Band, yang menurut kawan saya, Eko Prabowo terdiri dari sekumpulan kutu buku. Zen, Aristo, Bentar dan JC masing-masing mengisi gitar, bass, perkusi dan vokal. Penulis liriknya, Salman Aristo, adalah pujangga yang tahu betul kekayaan khasanah bahasa kita. Tak heran bila latarnya sebagai jurnalis, sasterawan dan penulis skenario film dimanfaatkan betul untuk membuat puisi-puisi yang tidak banyak ditabur penjaja musik tanah air. Tema tentang ketidakadilan dari perspektif "underground", mediokrasi, media dan kritik budaya menjadi aras yang dikoleksi melalui EP bertitel Post Scriptum. CD bermuatan 6 lagu itu edar beberapa bulan lalu, namun eksistensi SiLENTiUM sudah dijejak sejak akhir tahun lalu. Keterlibatan mereka bergabung sebagai penyumbang lagu di album sontrek film Sang Pemimpi membuat SiLENTiUM lakukan kickoff lebih dini untuk sapa pecinta musik di Indonesia, mendului albumnya. Disusul kemudian dengan melepas single "Lawan" sebelum akhirnya merilis debut EP mereka. "Lawan" yang menjadi single perdana mereka memang bisa menceritakan sedikit bagaimana SiLENTiUM. Lirik seperti "Mata fakta sedang dibutakan/Status quo coba lagi ditunggalkan" didukung oleh musik akustik yang mengandalkan groove bass dan ritmis perkusi serta gitar. Melodi tak kering, karena lirik yang saya tulis di atas bukan dibacakan ala deklamasi di pertunjukan musikalitas puisi. Masing-masing kata yang teruntai, sedalam apapun, tetap mempunyai ikatan irama. Post Scriptum esensinya adalah sebuah musikalitas puisi. Namun SiLENTiUM bukan sekedar pembaca sajak dan musisi latar. Mereka adalah trubador, pengamen yang menyampaikan kisah dan pesan kepada penggemarnya, dengan nada yang mewakili emosi, menghibur dan menyemangati pendengarnya. Coba simak lagu "Semua", mungkin satu-satunya lagu yang temanya universal mengenai kebahagiaan. Ketika apresiatornya terlena dengan ikatan folk akustik musiknya, syair kritis menusuk dan menciptakan ruang-ruang permanen di otak kita. Oleh karena itu, bagi saya, impresi awal ketika putaran pertama CD yang hanya seharga limabelas ribu ini adalah tema-tema eksistensial dan kritik budaya yang disampaikan melalui lagu-lagunya. Departemen musik tentu harus mempunyai kredibilitas sendiri. SiLENTiUM bermain sebagai sebuah unit, gabungkan instrumen akustik pokok, gitar bas dan perkusi. Melodi dan ritme yang diambil cukup easy listening, namun tidak berorientasi pop karena sonder hook yang mudah dimemori. Bagian ini mempunyai part signifikan sehingga menghindarkan Post Scriptum dari sekedar lirik yang bernuansa kuat. Semua bagian menyatu sebagai sebuah lagu dengan juru bicara sang vokalis. Karakter suara Jessi yang sedikit berat membuat mendengarkan musik ini seperti menggabungkan folk-balada Franky Sahilatua, Iwan Fals dan Tom Waits! Dan seperti halnya kebanyakan folk-baladan juaranya adalah kisah-kisah yang dituturkan. Tema yang diikat di 6 lagu ini sungguh kritis dan kaya, dan disampaikan dalam bahasa yang jauh dari banal. Simaklah angle yang diambil Aris, sapaan Salman Aristo, dalam lagu "Apa Kabar?". Rasanya, kita pernah berkenalan/Berpegangan tangan di jalanan// Mengacungkan kebenaran di hadapan laras senapan// Apa kabarmu kawan? Baris pertama adalah kalimat sejuta umat yang direfrain oleh band-band saat ini. Namun apa yang Anda tangkap ketika membaca baris kedua? Tema mengenai demokrasi dan demonstrasi mungkin sudah ada yang mengambil, namun sudut pandang demonstran jelas masih langka! Bila bicara tentang menyuarakan aspirasi, sesuai dengan imej demo saat ini tentu persepsi akan dihadapkan dengan kekerasan, ekstrimis dan kelantangan. Tapi misi SiLENTiUM adalah menyampaikan pesan dengan aksara. Tak mau terjebak seperti media yang mereka kritisi. Berita dipaksa terbit tanpa aksara/ Kalau kata sudah tak lagi bernyawa/ Kuisi ujung penaku dengan darah// Bahasa memang menjadi senjata bagi SiLENTiUM. Ini juga terlihat bagaimana cara mereka menuturkannya melalui bahasa syair dan lagu. Bagi saya, album mini SiLENTiUM, Post Scriptum ini adalah sebuah musikalitas puisi luar biasa yang akan memberi dimensi baru di ranah musik Indonesia. Bahwa bahasa kita kaya, dan tema yang bisa diangkat juga bisa lebih berwarna. Ini lagu sampah/ Tanda aku belum kalah/ Tanda aku belum menyerah// Seperti pesan lagu itu, mendengarkan album ini membuat saya optimis tentang masa depan musik Indonesia yang mau menggali kekayaan bahasa kita. Post Scriptum mungkin bisa memberi harapan dan kembali memperkuat kolaborasi sastra tulis dan lagu yang belum banyak digali para musisi sebagai jalan sukses mereka. Menemukan album ini rasanya saya seperti Mario, si tukang pos kala bertemu Pablo Neruda. Bahasa adalah elemen yang kaya. CD Post-Scriptum: 1. Lawan 3:25 2. Apa Kabar? 3:40 3. Berita Hari Ini 4:30 4. Semua 3:14 5. Mediokrasi 3:14 6. Lagu Sampah 2:52 http://www.myspace.com/stateofsilentium

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline