Lihat ke Halaman Asli

Sistem Kasta: Pemicu Ketimpangan Sosial dalam Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya Putu Wijaya

Diperbarui: 20 Desember 2023   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Stratifikasi sosial menurut Hendropuspito (1983) merupakan lapisan atau strata sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan status atau posisi tinggi rendahnya seseorang yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun kelas atau status sosial menurut Soekanto (2010) dipengaruhi oleh dua faktor, yakni yang diperoleh dari usaha sendiri, misalnya mahasiswa yang mendapatkan gelar sarjana atau yang didapat dengan sendirinya oleh seorang anggota masyarakat, seperti sistem kasta yang diterapkan di Bali. 

 Sistem kodifikasi atau stratifikasi sosial yang terjadi di Bali menurut Ari, dkk. (2021) merupakan salah satu pengaruh yang berasal dari India. Gelar yang mencerminkan stratifikasi sosial ini diperoleh melalui jalur ayah. Sebutan dari gelar ini adalah wangsa. Wangsa dibagi menjadi empat tingkatan yaitu yang paling tinggi Brahmana, kemudian Ksatria, lalu Waisya, dan terakhir Sudra. Adapun tujuan diberlakukannya sistem kasta ini yakni untuk mempermudah dalam hal pembagian kerja. Namun, sayangnya sistem ini memicu terjadinya ketimpangan sosial dalam masyarakat. Fenomena ketimpangan ini tidak hanya tecermin dalam struktur masyarakat, tetapi juga sering diresapi dan diungkapkan dalam bentuk karya sastra.

Salah satu karya sastra yang mengangkat tentang isu ketimpangan sosial di Bali yakni naskah drama “Bila Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Di dalamnya terdapat potret realitas kehidupan masyarakat Bali pada tahun 1966, yakni selalu bersikap angkuh serta memandang rendah orang lain. Di mana kondisi masyarakat pada masa itu sangatlah berpegang teguh dengan adanya strata sosial atau perbedaan kasta yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial.

Dalam naskahnya, Putu Wijaya menggambarkan dampak ketimpangan sosial melalui konflik antar kasta. Konflik ini terjadi antara tokoh-tokoh ksatria seperti Gusti Biang, Ratu Ngurah, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, dan Sagung Rai dengan tokoh-tokoh kelas sudra, yaitu Wayan dan Nyoman Niti. Dengan jelas, konflik tersebut mencerminkan pertentangan antara dua tingkatan status sosial yang berbeda dalam struktur masyarakat feodal Bali.

Dalam naskah "Bila Malam Bertambah Malam" karya Putu Wijaya, tergambar bahwa kedua kasta saling bertentangan dengan memiliki kepentingan masing-masing. Kaum ksatria tegak berdiri di atas kekastaan yang dianggap sebagai martabat turun-temurun dari leluhur mereka. Mereka memandang kasta mereka lebih tinggi daripada kaum sudra, sehingga menyebabkan tokoh Gusti Biang dalam naskah tersebut berperilaku sewenang-wenang.

Putu Wijaya dengan tajam menggambarkan bahwa konflik antar kasta dapat membentuk sikap arogan dan merendahkan orang lain. Fenomena ini muncul karena golongan kasta Ksatria memandang tingkatan kastanya lebih tinggi dan lebih terhormat daripada orang yang berada pada tingkatan kasta yang lebih rendah, yakni kasta Sudra. Dalam dialog berikut, terlihat dengan jelas bagaimana pandangan ini tercermin dalam perilaku tokoh Gusti Biang.

Gusti Biang: “Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian jaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!”

              Gusti Biang ialah tokoh yang sengaja digambarkan sebagai sosok bangsawan yang sangat sombong, sering menghardik, dan merendahkan pelayan-pelayannya yakni Nyoman dan Wayan yang keduanya termasuk pada golongan sudra yaitu golongan paling rendah di masyarakat. Bahkan diceritakan saking arogannya sosok Gusti Biang ini, sampai-sampai ia tega mengusir anaknya yang jatuh cinta pada Nyoman hanya demi mempertahankan martabatnya sebagai kaum ksatria. Terlihat dari kutipan dialog berikut ini:

Ngurah : “Diusir? Nyoman, ibu usir?”

Gusti Biang: “ Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini."

           Gusti Biang, sebagai tokoh dengan kasta ksatria, sungguh menjunjung tinggi harkat dan martabat yang diterimanya dari leluhurnya. Baginya, orang berkasta ksatria seharusnya tidak boleh menikah dengan mereka yang berada dalam kasta sudra, sebab hal tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap kebangsawanan dan merendahkan derajatnya. Dengan keyakinan ini, ia memandang dirinya berhak memperlakukan orang berkasta sudra secara semena-mena.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline