Lihat ke Halaman Asli

Helma Herawati

GURU SD NEGERI JETIS 1 YOGYAKARTA & PENDIRI PONPES AN-NUUR KERINCI

Sedekah Ijazah

Diperbarui: 3 Desember 2022   21:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andai ijazah boleh disedekahkan, akan saya berikan pada orang yang membutuhkan, faktanya di luar sana masih banyak yang membutuhkan ijazah, ribuan mahasiswa yang sedang berjuang untuk memperoleh ijazah. Itu merupakan bukti bahwa ijazah sangat diperlukan. Terkadang setelah kita dapat ijazah itu diabaikan.

Di sisi lain, walau mereka membutuhkan dan saya sedekahkan kepada mereka. Sedekah saya tidak berarti apa-apa dan tidak bermanfaat bagi mereka. Lalu untuk apa ijazah saya? Hanya di simpan sebagai dokumen. Tanda saya pernah kuliah. Pernah berjuang untuk mendapatkannya.

Yaa..., untuk mendapatkan ijazah itu perlu perjuangan pengorbanan. Setidaknya korban uang, tenaga, dan waktu. Pada saat wisuda, Saya terima ijazah itu dengan senyum terindah, itulah seyuman ketika saya berjuang melawan air mata.

          Inilah kisah perjuangan saya.

Sebelas  tahun yang lalu, dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan saya nekat untuk melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Teknologi Pendidikan di Universitas Jambi. Berharap akan dapat bantuan beasiswa dari pemerintah Provinsi, tapi saya hanya mendapatkan surat izin kuliah dari bupati. 

Saya kuliah secara mandiri, semua keungan saya tanggulangi sendiri, seperti SPP, membeli buku, fotokopi, dan sebagainya semua itu biaya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah atau pun pihak lain.

Semangat tetap membara, walaupun harus berpacu dengan waktu. Pagi saya menunaikan tugas sebagai guru SD pulang pukul 12.30 WIB, sore kuliah sampai malam, dari pukul 13.30 -- 20,30 WIB, pulang kuliah malam hari harus mendampingi anak-anak mengerjakan PR, setelah itu mengerjakan tugas dari kampus, apalagi ketika melaksanakan penelitian dan menyusun laporan thesis, benar-benar menguras tenaga dan pikiran. 

Hidup yang serba kekurangan  juga membuat kita kesulitan untuk memiliki buku referensi hingga saya harus mencari kemana-mana,  ke perpustakaan kampus, perpustakaan wilayah, meminjam pada teman, dan lain-lain.  Itulah rutunitas yang saya jalani selama 2 tahun 3 bulan, betapa sulitnya membagi waktu karna saya adalah orang tua tunggal dari kedua putra putri saya yang masih kecil sudah yatim dan kedua adik saya yang sudah yatim piatu.

 Berangkat dari rumah menuju kampus menggunakan sepeda motor Supra Fit. Menempuh perjalanan 20 km, di tengah keramaian kota selalu berhadapan dengan sopir angkot yang ugal-ugalan sering membuat sport jantung. 

Selain itu, ketika sudah berada di daerah luar kota dan harus melewati jalanan yang sangat sepi, rawan kecelakaan dan kejahatan, hujan dan panas saya lalui sendirian, bahkan terkadang harus menelusuri gelapnya malam karena PLN padam, akan tetapi tidak memadamkan semangat saya untuk meraih gelar Magister Pendidikan (M.Pd).

Setelah melewati perjuangan yang terasa begitu panjang, tibalah saatnya saya wisuda pada tanggal 4 April 2014. Berangkat dari rumah dengan rasa sangat bahagia, saya memakai baju kebesaran. Jubah dan toga walaupun itu barang pinjaman dari kakak tingkat yang sudah wisuda tahun lalu. Begitu juga putra putri saya, mereka sangat bahagia, apalagi ketika itu saya wisuda bersamaan dengan adik bungsu yang dari kecil tinggal bersama saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline