Lihat ke Halaman Asli

Helma Amelia

Mahasiswa

Perkembangan Bahasa indonesia (Menyingkap Jati Diri Bahasa Indonesia di Era Milenial)

Diperbarui: 18 Desember 2022   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

             Bahasa Indonesia telah sejak lama menjadi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Sebagai bahasa persatuan, tentu saja bahasa Indonesia menjadi bahasa pengikat rasa persaudaraan dan rasa kebersamaan sebagai bangsa yang pernah dijajah bertahun-tahun oleh Jepang, bahkan ratusan tahun oleh Belanda.  Seluruh masyarakat Indonesia mempelajarinya hingga kini, sampai kepada generasi milenial (millenial generation) menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi dan bahasa pengantar dalam berbagai kegiatan. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam lembaga-lembaga resmi negara, dalam dunia pendidikan, dan digunakan juga untuk berkomunikasi antarsuku bangsa di Nusantara; Indonesia.

            Dalam masa pertumbuhannya, bahasa Indonesia tidak lepas dari pengaruh-pengaruh bahasa asing dan daerah. Pengaruh bahasa-bahasa itu karena persinggungan antarpengguna bahasa dalam berkomunikasi yang tidak lagi dapat dihindari. Banyak bahasa daerah dan asing yang diserap melalui proses adaptasi, adopsi, penyesuaian lafal, dan tentunya lahirlah istilah-istilah baru dalam berbagai bidang pengetahuan. Hal ini sangat memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Tentu saja penyerapan bahasa asing dan daerah itu melalui proses penyesuaian yang sangat ketat. Para pakar bahasa yang bertugas di Lembaga Pusat Kajian Bahasa (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) mengolah bahasa serapan tersebut menjadi bahasa Indonesia agar layak digunakan, dalam arti tidak merugikan jati diri bahasa Indonesia. Dengan terlembagakannya pengelolaan bahasa ini diharapkan dapat menjaga serta memelihara bahasa Indonesia dan tidak tumbuh secara liar. Artinya, pengakuan jati diri bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara tetap terjaga marwahnya.

            Kebanggaan kita memiliki bahasa Indonesia perlu dipelihara dan tetap tumbuh berakar di hati sanubari, sebab betapa perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan Indonesia dicapai, bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa. Bagaimana rakyat Indonesia akan bersatu jika tidak menyatukan bahasa sebagai alat berkomunikasi saat itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Zainal Aqib dan Hendrix Irawan (2019: 24) bahwa bahasa Indonesia tumbuh secara khas. Ia bukan bahasa yang tumbuh secara alamiah seperti halnya bahasa daerah, melainkan bentukan para pejuang kemerdekaan. Para pejuang kemerdekaan belajar dari sejarah bahwa tanpa persatuan maka perjuangan akan gagal. Mereka berjuang bersama-sama, bersatu, dan menanggalkan segala bentuk perbedaan hingga mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

            Bangsa Indonesia harus bersyukur karena memiliki bahasa persatuan yang satu, yaitu bahasa Indonesia. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia tumbuh dan semakin kokoh menjadi identitas bangsa. Kita memiliki bahasa yang berakar dari bahasa Melayu Riau (Zainal Aqib, 2013: 24) tanpa menghilangkan status bahasa Riau sebagai bahasa daerah. Tidak banyak bangsa yang memiliki rahmat terselubung seperti ini karena pada umumnya suatu bahasa tidak menjadi alat perjuangan. Tidak sedikit pula negara yang bangga menggunakan bahasa  nasional dan bahasa negara lain (bahasa Inggris) dalam pergaulan berkomunikasi di tengah kehidupan bermasyarakatnya. Negara Filipina, misalnya, merupakan contoh negara yang berkebalikan dengan Indonesia. Filipina memiliki bahasa nasional dan bahasa negara (bahasa Tagalog), tetapi dalam komunikasi resmi warganya lebih bangga dengan bahasa negara lain (bahasa Inggris). Oleh karena itu, merupakan rahmat bagi bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan sekaligus bahasa resmi negara yang juga telah dituangkan dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berbunyi "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".

            Bahasa Indonesia dewasa ini menjadi perhatian masyarakat dunia. Bahasa Indonesia telah banyak dipelajari di negara-negara, seperti: Vietnam, Perancis, Australia, Amerika, Polandia, China, Korea Selatan, Jepang, India, Suriname, Jerman, Kanada, dan lain-lain. Mereka mempelajari bahasa Indonesia untuk mempermudah menjalin komunikasi dalam kancah pergaulan ekonomi, politik, teknologi, dan budaya. Jadi, bagi orang asing, mempelajari bahasa Indonesia sekaligus ingin mengetahui budaya bangsa yang tumbuh di Indonesia. Mereka tertarik dengan keanekaragaman budaya di Indonesia. Satu-satunya sarana yang harus pertama kali  mereka pahami yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada dokumen-dokumen budaya. Tak heran lembaga-lembaga pendidikan bahasa Indonesia banyak bermunculan di belahan dunia.

            Bahasa Indonesia yang selama ini dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi, sering menjadi bahan pembelajaran yang sangat diprioritaskan. Tujuan pendidikan bahasa Indonesia pada dasarnya agar pelajar dan mahasiswa mampu dan fasih menggunakan bahasa Indonesia. Mereka harus menuangkan gagasan-gagasan hasil penelitiannya dalam bentuk penulisan karya ilmiah. Untuk itu, pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa Indonesia menjadi faktor utama agar penyampaian argumentasinya mencerminkan seorang akademisi dan peneliti keilmuan yang handal.

           Penggunaan bahasa Indonesia akhir-akhir ini, baik di kalangan dunia pendidikan, maupun di tengah masyarakat sulit dipahami karena persinggungan para pengguna bahasa itu sendiri. Para pengguna bahasa Indonesia menempatkan dirinya pada struktur sosialnya masing-masing. Pertumbuhan bahasa Indonesia juga semakin gencar seiring dengan pertumbuhan dan kemajuan teknologi informasi. Dengan semakin marak dan mudahnya akses ke internet memudahkan pengguna bahasa mengenali hal-hal yang menurut mereka baru, hingga penggunaan bahasa pun tidak terkontrol. Bisa jadi, mereka bahkan belajar mencipta bahasa melalui handphone di tangannya, yang kemungkinan besar perlu pembenahan dari segi kaidah kebahasaan. Dengan begitu, muncullah bahasa-bahasa kaum milenial di tengah-tengah perkembangan bahasa Indonesia.

            Dikemukakan oleh Ahmad Rouf (2020: 2) dalam Milepedia: Ensiklopedia Milenial, bahwa generasi milenial (millennial generation) adalah generasi yang lahir dalam rentang waktu awal tahun 1980 hingga tahun 2000-an. Disebut milenial karena merekalah generasi yang hidup di pergantian millenium. Secara bersamaan, di era ini teknologi digital mulai merasuk ke segala sendi kehidupan. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi secara instan seperti email, facebook, twitter, chatting, instagram, tiktok, whatsapp, youtube dan aplikasi media sosial lainnya. Hal ini merupakan sarana yang dapat mempercepat tumbuhnya bahasa gaul di kalangan milenial. Apalagi media sosial ini banyak pula digandrungi oleh para remaja dan kaum milenial, yang berdasarkan seusia ini memerlukan waktu panjang ke arah pemahaman bahasa formal yang normatif.

            Di era milenial ini telah banyak bermunculan bahasa gaul. Istilah bahasa gaul ini dikemukakan oleh Mikihiro Moriyama (2010: 61) dengan mengutip Kamus Bahasa Gaul karya Debby Sahertian, bahwa memasuki abad ke-21 dukungan penyebarluasan bahasa gaul menjelang tahun 2000-an itu, selain datang dari industri penerbitan, juga berasal dari industri pertelevisian yang "memasarkan" bahasa gaul melalui iklan, sinetron, dan acara-acara berita-hiburan (infotainment). Hingga saat ini pernah kita dengar kata gabut, bete 'sedang malas', baper 'bawa perasaan', galau 'perasaan sedih', anjay 'ekspresi takjub', santuy 'kalem, santai',  dan lain-lain. Semua itu menjadi konsumsi mata dan telinga kita sehari-hari sehingga semakin banyak bahasa gaul itu digunakan oleh generasi berikutnya. Kita tidak melarang bahasa itu tumbuh karena merupakan hal yang wajar terjadi. Kemunculan istilah-istilah atau bahasa-bahasa gaul itu mencerminkan kebutuhan pengguna bahasa dalam berkomunikasi secara nonformal. Sebelum era milenial pun (masa orde baru) telah tumbuh banyak ragam bahasa nonformal ini di kalangan sosial tertentu, misalnya di kalangan para pejabat, seperti penggunaan kata daripada "Penggunaan daripada pupuk organik", -ken "memberiken", kemudian muncul akhiran -in "bawain", kata wong pengaruh bahasa Jawa "Wong, dia orangnya yang datang", penggunaan awalan ke- "kepincut", "kecantol", (terpincut dan tercantol), dan lain-lain. Di kalangan remaja banyak yang menggunakan kata buruan "Ayo, buruan (cepat) jalannya..." Begitulah bahasa nonformal ini lahir seiring dengan perkembangan para pengguna bahasa di zamannya.

            Lalu, bagaimanakah sikap kita terhadap kondisi bahasa tersebut? Kita harus bersikap kritis dan bukan apatis. Memang, sampai kapan pun pertumbuhan bahasa Indonesia yang formal akan terus saling bersinggungan dengan pertumbuhan bahasa nonformal ini. Kedua bahasa (formal dan nonformal) itu tumbuh dan berkembang di atas relnya masing-masing. Bahasa formal akan terus dipelihara oleh para pakar bahasa agar marwah dan eksistensinya sebagai bahasa resmi negara tidak tumbuh secara liar. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara akan semakin berjaya karena banyak digunakan dalam forum-forum resmi, bahasa perundang-undangan, dan menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

            Seiring dengan tumbuhnya bahasa gaul di era milenial ini, bahasa gaul ini juga tidak dianggap buruk. Kita juga seharusnya apresiatif dan harus bisa menempatkan diri, sebagai kalangan terpelajar harus menjadikan bahasa gaul itu sebagai fenomena sosial dalam kajian ilmu pengetahuan, dan tidak mencampuradukkannya dengan bahasa formal. Justru seharusnya menjadi obyek penelitian tentang bahasa nonformal yang tumbuh di kalangan masyarakat pengguna bahasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline