Setiap hari, pandemi covid-19 telah menambah jumlah pasien di ranjang-ranjang perawatan. Penyakit ini sudah memasuki daftar-daftar kerabat juga orang-orang yang berada di dalam lingkaran kita.
Kita merasa sedih dan bingung ingin mengadu atau saling menyalahkan. Hal-hal seperti ini katanya wajar saja, orang-orang tersebut memiliki intensitas berelasi yang erat dengan kita. Bisa juga orang-orang tersebut merupakan publik figur yang kita idolakan. Lantas, sudah terjadi mereka menjalani perawatan, pengobatan, isolasi, hingga menunggu sembuh.
Apa yang kita takutkan? Kita kehilangan mereka. Ya, kita takut kehilangan mereka. Kemarin, masih bisa ngobrol, saling bercanda, menjatuhkan mungkin, bertukar pandangan, atau sekadar berpapasan. Kita tidak ingin kehilangan orang-orang yang menjadi tempat untuk kita berinteraksi atau tujuan untuk pulang.
Seharusnya kita saling menjaga dengan mengingatkan juga melaksanakan. Gerai vaksin sudah dikunjungi oleh banyak orang, tetapi tidak juga menjajikan bahwa kita tidak akan pernah terpapar penyakit ini. Upaya vaksinasi bukan jaminan selamat dari pandemi, tetapi salah satu langkah preventif untuk melindungi diri dari jangkitannya.
Bagaimana harus bertindak? Di rumah sudah cukup banyak kekalutan, keresahan yang silih berganti bahkan bosan yang sangat besar membuat kita kehilangan kendali. Kita menjadi mudah marah, egois, stres, sedih, dan berbagai perasaan negatif yang menggerogoti diri kita. Kita menuduh, menyalahkan, dan menghindari sesama. Keluhan demi keluhan berlomba-lomba keluar dari mulut kita.
Namun, ini semua tidak bekerja untuk mengurangi jumlah pasien di ranjang perawatan. Ini tidak bekerja untuk memutus penyebaran covid-19. Tindakan kita menambah tumpukan energi negatif di dalam diri. Bahkan, kita mudah menyalahkan keadaan dan orang lain karena kita merasa sudah mengerjakan semuanya dengan sangat baik. Bisa juga kita menyalahkan diri sendiri karena tidak tau harus mengerjakan apa lagi di rumah. Semuanya seperti rutinitas yang sangat berat untuk diselesaikan.
Kabar terbaru ada varian baru yang juga lebih mudah menyerang saat berpapasan. Tumpukan beban apa lagi yang harus kita tanggung? Banyak sekali, keluhan itu semakin banyak. Namun, apakah kita sudah menjadi berubah dalam tindakan untuk memerangi musuh kita yang sebenarnya? Kita tidak sedang berperang pada manusia yang menjadi korbannya. Namun, pada penyakitnya. Ya, penyakitnya. Musuh kita penyakitnya, kita harus berperang dan harus menuntaskannya secara bersama-sama. Menambah benci kepada orang lain atau tuduhan kepada orang lain akan menguras tenaga saja.
Berprasangka baik tidaklah mudah, tetapi akan jauh lebih baik daripada memilih untuk memikirkan hal buruk. Berpikir positif bahwa pandemi ini akan usai, kapan? Saat semua orang bersama-sama melawan penyakitnya, bukan menyerang sesama. Berpikir positif bahwa covid-19 bisa disembuhkan, tidak selalu kabar yang terjangkit covid telah meninggal.
Berpikir positif bahwa aturan protokol kesehatan untuk kita saling menjaga, diri sendiri, keluarga, dan sesama. Berpikir positif itu sulit, semuanya menjadi buruk dalam pikiran karena kita melihat peningkatan jumlah pasien. Tindakan kita menjadi abai pada semua hal positif yang seharusnya bisa menjaga kita. Tuduhan pandemi sebagai konspirasi juga telah memakan akal sehat sebagian orang.
Terus muncul pertanyaan, sampai kapan semuanya bisa menjadi kembali normal? Perubahan gaya hidup yang bergantung pada gadget selama pandemi akan menjadi konsisten. Di mana persaingan di dunia teknologi semakin dikedepankan. Kita bisa menjadi normal mungkin dengan cara yang berbeda.
Namun, kita harus sehat dalam pikiran bahwa pandemi ini bukan konspirasi atau fiktif yang dibuat-buat. Kita perlu sama-sama melakukan dan mengingatkan. Saling menjaga, berpikir positif, dan optimis. Tapi, jumlah pasien covid-19 terus bertambah setia harinya. Sampai kapan kita optimis? Sampai kapan ini berakhir? Sampai kita sama-sama sadar bahwa penyakit ini musuh kita. Musuh yang harus diperangi bersama-sama.