Lihat ke Halaman Asli

Nun, Relung Mengadu

Diperbarui: 26 Oktober 2020   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengarkan angin yang berputar-putar di udara. Diajaknya menari benda-benda yang tak tahan banting, seperti kertas terbang kesana-kemari. Tembok menjadi dingin. Dingin itu menjelma ke seluruh ruangan, bukan karena angin. Udara menguasai langit-langt rumah, mengintai-intai petak putih di lantai. 

Banyak yang sudah dikuasai oleh angin, gagang pintu berbesi. Cermin yang menjadi pemantul cahaya wajah turut merasakan. Paling dekat dengan jariku, ujung pena. Dingin itu, berada di atas sebuah catatan dari ujung sebuah pena. Tidak harus menunggu, pori-pori tubuhku turut mengadu.

"Dingin, dingin" suara yang kelu. Udara yang mengeluarkan napas abu-abu. Jalan raya tampak lenggang. Tak ada yang mondar-mandir. Hanya mobil yang menerobos pilar-pilar kabut yang terbayang. Sebut saja, bayang maut tak berbahaya bagi pemilik banyak harta. Gelegar menggetar terus menerus.

Masih di dalam satu atap, tubuh kecil menekuk. Perlahan, ia menggapai lutut. Suara makin dekat di telinganya, "dingin, dingin..."

Serbuan udara menantang segala kediaman.

Satu teriakan, sangat nyata dan lantang. Kaki-kaki berlari di bawah jemuran yang berbaris-baris kain tergantung.

"Hujan"

"Apa?"

"Hujan!" kali ini, lebih keras dari jawaban pertamanya.

Kilat lalu guntur, bukan gerimis, bukan pertanda mendung. 

Memang hujan sudah membuat langit kelabu dihatiku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline