Sulit untuk berpikir tentang masa-masa yang menyenangkan. Kesakitan menjadi lahan subur di kala harus berpindah mencari jalan yang terbaik. Aku belajar mandiri itu pun sulit. Biasanya saat bangun ada suara yang memanggilku untuk segera membuka kelopak mata. Hari ini di sebuah rumah kecil tampak tak berpenghuni sepanjang hari.
Aku mulai bosan ngobrol dengan diri sendiri. Menyandingkan diri dengan para penulis hanya menciutkan optimis untuk bertahan hidup lewat tulisan. Aku beristirahat menggenggam hp yang ukurannya lebih kecil dari sebuah buku. Namun, daya ingatku tentang foto yang secara bergilir membuatku ingat masa yang lalu.
Susah sekali untuk berunding di saat semua pada sibuk dengan pekerjaan. Setelah lelah menghampiri mataku, kembali aku berbaring. Kehidupan ini tak henti-hentinya membuatku pasrah untuk berhenti.
Di alam yang lain,
"Gllen.."
Sastrawan yang tua itu memanggilku. Aku bergegas menghampiri ruangan yang seru untuk mengobrol dengannya. Dia bertanya apa resah yang membuatku berhenti mengikat huruf menjadi untaian kata-kata. Dengan sebuah pena dan secarik kertas disodorkannya padaku sebuah bait yang memiliki nilai seni yang tinggi.
"Kenapa tidak dipublish aja pak?"
"Ini keputusanku,"
"Pasti orang-orang akan berkomentar baik"
"Tidak semua menilai sama"
"Bagaimana bapak tau, belum dipublish?"