Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Aroma Jejak di Masa Lalu

Diperbarui: 8 Juni 2020   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kata yang paling hangat disepanjang musim. Untuk semua ungkapan rindu tertuju pada gubuk di ujung barat Indonesia. Pengalaman yang kumulai dari tahun isakku merambat ke rumah-rumah tetangga, mengenal orang tua dan lingkungan bertumbuh. 

Aroma aspal yang kering dibawa angin masuk ke celah jendela. Musim kering membawa kakiku pada tanah retak dan daun-daun memadati jalanan. Batu-batu yang berkeliaran di jalan raya serta pohon-pohon besar menjadi tempat berteduh anak sekolah. Masa kecil yang menyenangkan.

"Ayo, sekarang giliranmu" teriak mereka padaku yang sedang melamun. Aku selalu membawa sial pada tingkatan ke tiga lompat tali. Anak-anak seperti kami sangat asing dengan istilah-istilah baru. Sederhananya lompat tali lebih terkenal dengan istilah fa wewe  di sekolahku. 

Kami tidak pernah mengenal lelah atau berhenti untuk mengeksplorasi halaman sekolah dengan tingkah laku yang aneh. Sudah tentu guru-guru membiarkan kami mengeksplor dunia kami. Hal ujian dan belajar menjadi ancaman yang sangat menakutkan di akhir semester. 

Orang tua akan menjadi bangga dengan prestasi hitam di rapor meskipun mereka tidak mengenal perjuangan yang kami lakukan untuk meraihnya. Di rumah kami dikenal sebagai anak. Anak perempuan yang harus lebih paham dengan jengkal-jengkal dapur. 

Memastikan kayu terbakar menjadi abu setiap paginya. Memastikan rumah tertutup rapat di malam hari. Aku pikir ini berbeda di setiap rumah tentunya. Namun, yakin atau tidak inilah yang terjadi pada umumnya. 

Perlombaan di musim kering adalah lomba mengisi ember-ember dengan air. Antrean yang menyita banyak waktu membuka peluang bagi kawanan nyamuk untuk beria sejenak. 

Seperti rombongan yang menghadiri acara sunatan semua berbondong-bondong menunggu aliran air yang sama. Aku membawa dua jiregen kecil di kiri dan kananku. Panas aspal kering membuat telapak kaki yang melaluinya merah terbakar. 

Pada masa kanak-kanak itu bukan soal yang rumit. Setelah menunggu terlalu lama hingga terkantuk kami bersiul-siul menunggu aliran air dijaga oleh salah seorang dari anggota rumah kami. Praktik korupsi dan curang terkadang terjadi bahkan selalu terjadi. 

Kami datang membawa 3 ember dan 2 jiregen. Sembari menungu ember-ember yang lain terisi penuh jiregen yang saya angkut ke rumah harus terisi kembali.

Antrean yang cukup membuat emosi meledak itu sekaliannya tidak tertahankan. Aroma permusuhan tidak langsung terlontarkan. Caci-maki tertinggal di antrean berikutnya untuk kami. Itu sudah menjadi hal biasa saja. Entah tua atau muda ekspresi kekesalan tidak pernah dilontarkan dengan tatap muka terhadap lawan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline