Lihat ke Halaman Asli

Helen Tuhumury

Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Politik dan Makanan: Kisah Kompleks di Atas Meja Makan

Diperbarui: 22 November 2023   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) bersama bakal calon presiden makan siang bersama saat melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/10/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.(Hafidz Mubarak A)

Di tengah memanasnya perhelatan politik di negeri ini, sempat kita dengar dan nonton di berita bahwa Presiden Joko Widodo mengundang makan siang ketiga calon Presiden Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin 30 Oktober 2023

Menurut berita tersebut menu yang disajikan yaitu nasi putih, soto lamongan, ayam kodok, sapi lada hitam, dan bebek panggang. Selain itu tampak juga cumi goreng, udang goreng telur asin, kaylan cah sapi, hingga sajian minum es laksamana. 

Presiden Jokowi mengungkapkan alasan dirinya melakukan makan siang bersama tiga calon presiden (Capres) di Istana, Beliau ingin memberikan pesan untuk menjaga pemilu 2024 ini supaya berjalan dengan damai. 

Sementara itu di bagian dunia lain dimana sementara terjadi konflik antara Hamas di Palestina dengan Israel, dimana Israel menghentikan suplai bahan makanan, termasuk suplai listrik, dan bahan bakar. Kedua peristiwa ini melibatkan makanan dan politik. Makanan dan politik, dua unsur yang tampaknya berbeda, namun saling terkait sepanjang sejarah manusia. 

Seiring perubahan politik, revolusi, dan globalisasi, makanan menjadi medium tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan fisiologis, tetapi juga sebagai cerminan dan instrumen dari kekuatan politik yang ada. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi sejarah panjang hubungan antara politik dan makanan, yang memaparkan lapisan-lapisan kompleks dinamika manusia di sepanjang garis waktu. 

Pertama, ketika makanan menjadi kekuasaan. Dalam artikel oleh Mintz et al (2002), The Anthropology of Food and Eating, Sejarah politik dan makanan dimulai dengan pengendalian sumber daya pangan sebagai bentuk kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan mendistribusikan makanan memberikan kontrol atas kelangsungan hidup suatu masyarakat. 

Dalam berbagai peradaban kuno, raja-raja dan penguasa menciptakan kebijakan pangan sebagai alat untuk memastikan loyalitas dan mengamankan dukungan politik. 

Dalam konteks zaman kuno, makanan bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisiologis, tetapi juga menjadi simbol kekuasaan dan kontrol sosial. Penguasaan dan distribusi makanan memiliki dampak langsung pada stabilitas masyarakat dan legitimasi penguasa. Penguasaan atas suber daya pangan menjadi kunci dalam menjaga kekuasaan pada masa kuno. 

Penguasa atau pemerintahan yang dapat mengendalikan produksi dan distribusi makanan memiliki kendali penuh atas produksi dan distribusi makanan memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan memelihara dukungan rakyat. 

Di Mesir kuno, Firaun atau raja memiliki kendali penuh atas produksi dan distribusi gandum, yang merupakan makanan pokok. Sistem penyimpanan dan distribusi makanan menjadi instrumen utama untuk memelihara kekuasaan politik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline