Lihat ke Halaman Asli

Perang terhadap Pinjol adalah Perang Melawan Kemiskinan dan Ketimpangan

Diperbarui: 21 Oktober 2021   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ditengah hiruk pikuk praktik hegemoni kelas atas (elit) yang kerap memproduksi dan mereproduksi wacana untuk merawat popularitas, ada infomasi menarik yang mendera kalangan rakyat kelas menengah kebawah, yang seyogyanya perlu disimak secara saksama.

Beberapa waktu lalu, di Wonogiri-Jawa Tengah seorang ibu rumah tangga dan seorang bapak berinisial NF yang berprofesi sebagai sopir angkot asal Sumatera, menghakhiri hidupnya akibat terlilit utang dan diintimidasi debt collector Pinjaman Online (Pinjol) (cnnindonesia.com, 2021).

Jika kita mengikuti media-media pemberitaan, tidak sedikit orang yang terjerat utang pinjol dengan bunga selangit. Korban pinjol tidak hanya para debitur perorangn namun banyak usaha kecil menengah (UMKM) yang terjerat utang pinjol. Singkatnya, kalangan rakyat kelas menengah kebawah rentan terhadap eksploitasi pinjol (kumparan.com, 2021).

Dalam banyak kasus, sebagaimana lansiran media, lilitan utang pinjol yang mendera sejumlah warga karena situasi resesi ekonomi akibat pandemi yang membuat banyak perusahaan gulung tikar dan jutaan pekerja di PHK.

Di sisi lain, Pemerintah melaporan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 berhasil tumbuh sebesar 7,07 %. Capaian ini disinyalir mengembalikan Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi yang positif, pasca resesi ekonomi yang mendera bertubi-tubi akibat Covid 19. 

Pemerintah juga megungkapkan, keberhasilan ini berkat strategi pemulihan ekonomi yang dilakukan melalui bantuan sosial, dalam rangka menjaga tingkat kemiskinan dan konsumsi rumah tangga masyarakat bawah (tempo.co, 2021).

Kasus kematian akibat terlilit utang dan teror Pinjaman Online (Pinjol) diatas, mesti menjadi tamparan keras bagi program pemulihan ekonomi pemerintah.

Karenanya, klaim bawah strategi pemulihan ekonomi yang dilakukan melalui program bantuan sosial untuk memulihkan tingkat kemiskinan dan konsumsi rumah tangga masyarakat bawah tentu amat meragukan dan menjadi ironi.

Merujuk data BPS yang melaporan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27, 54 juta orang, atau 10,14 %. Kondisi ini diperbukur dengan jumlah penduduk rentan (insecure) dengan pendapatan per kapita Rp.25.000 mencapai 52, 8 % atau 148 juta orang.

Disamping itu, kemudahan untuk mengakses kredit perbankan dengan bunga yang layak masih sangat rendah. Ada 47 juta penduduk Indonesia yang tidak tersentuh kredit perbankan, dan sekitar 69, 5 % UMKM di Indonesia belum mengakses perbankan (kumparan.com, 2021).

Masalahnya karena prasyarat akses kredit yang rumit bagi kalangan masyarakat kelas bawah, misalnya calon debitur harus layak dan mampu mengangsur cicilan disertai agunan. Bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan serabutan atau tidak tetap atau tinggal di rumah kontrakan tentu tidak layak mengakses kredit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline