Cerita ini ditulis pada tiga tahun lalu. Ketika penulis sedang melakukan penelitian lapangan di sebuah desa. Menetap dan tinggal untuk beberapa waktu di salah satu rumah informan. Mereka adalah sepasang pasutri sederhana yang terus berikhtiar tentang hidup dan kehidupan.
Banyak cerita yang belum penulis eksplorasi, dan cerita dibawah ini hanyalah sekelumit cerita tentang mereka dan usaha-usaha mereka. Tetunya ada beberapa cerita lanjutan yang akan penulis hidangkan lanjutannya. Semoga...!!!
***
Bulan oktober masih muda. Tidak seperti biasanya, rotasi alam bergeser lamban. Seharusnya di bulan oktober ini cendawan bermunculan, rumput-rumput menghijau, gemercik hujan sudah mulai menetes seperti nanah. Tapi panas masih cukup angkuh, memamerkan kepongahannya, dedaunan berguguran, rumput dan ilalang pun ikut terhanyut dalam kegersangan.
Di lorong perkampungan, butiran debu berayun-ayun di udara ketika angin berkejaran dengan waktu. Bagian selatan, Gunung Ebu Lobo berdiri tegak dengan cadar kabut putih mengepul dan bergulung-gulung di udara.
Suasana di kampung masih seperti dulu. Bocah-bocah hilir-mudik bermain dan berlarian. Di tengah selasar sa'o waja beberapa amekae sibuk bermain poker. Sedangkan sekelompok bupugae bercengrama di bagian lewu sa'o waja. Biasa di kampung, penduduk kampung biasanya ngumpul bersama dalam keriuhan. Berbeda dengan hari-hari lain, mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Hari sudah mulai soreh, sebentar lagi mentari akan berperak di ufuk barat. Ema Lukas mulai beranjak dari sudut selasar sao waja. Mmmm... saya mau pergi seso dulu, matahari sudah mulai tenggalam. Ema Lukas berdiri sambil meletakan beberapa lembar kartu poker dari tangannya. Molo sudah kalau begitu kita semua bubar, saya juga belum peni wasi, sambung ema Niko yang ikut berdiri dari tempat itu. Begitulah spesialisasi masyarakat perkampungan yang konsen dengan berternak dan bercocok tanam.
Seketika suasana di sao waja yang keramat tenggelam dalam kesepian. Riuh rendah para bupugae di lewu tak meninggalkan jejak apa pun.
Biasanya dibulan-bulan seperti ini, masyarakat sudah mulai bercocok tanam, yang di awali dengan kota aca/woka ngema (persiapan lahan), selanjutnya poke joki (tanam), sewo (penyiangan), ze noa (pengendalian hama), poo sugi dan poo uta (syukur akan hasil yang mulai nampak), poo wete (syukur panen), keti pui (panen), semacam kelender budaya yang mengatur jejak langkah aktivitas hidup manusia dalam bertani dan berkebun. Selain itu juga ada perhitungan waktu berdasarkan aktifitas hidup manusia seperti wula kota woka (waktunya bekerja), wula poke joki (musim tanam), wula keti pui (waktu panen), wula seka ngoa (membersihkan kebun sesudah panen), wula moni neni (musim tontonan), wula teka kewo (mendirikan rumah), Wula to'a lako (berburu) dan kembali ke kota woka. Begitulah rotasi kelender adat masyarakat setempat. Konon sudah sejak dahulu kala saat nenek moyang mereka menjadi penguni penguhi pertama wilayah itu.
***
Ema Lukas, seperti kebiasaannya ketika pulang seso, selalu saja menggantungkan codi diatas regel bambu, lalu duduk melepas lelah di bale-bale dapur. Di lewu bo, ine Mince sibuk memotong kayu bakar untuk memasak air dan menanak nasi untuk makan malam nanti. Lukas eee.... Sudah bulan oktober tapi belum juga turun hujan, kapan kita mau poke joki, kita punya persediaan pae di bo mau habis, apalagi holo, kita punya manu-wawi mau kasi makan apa nanti? Begitu ine Mince mengadu, sambil tangannya yang cekatan sibuk memutar kopi untuk suaminya tercinta. Ame Lukas yang masih duduk di bale-bale dapur sedang asyik ngelinting sebatang kretek gudang garam merah. Ine...., beras sekarang sudah mahal, kita punya jambu mente dan feo belum ada yang berbuah. Ema Lukas mengerutkan kening sambil mengisap kretek dan mengepulkan asapnya ke udara.