Lihat ke Halaman Asli

Pengakuan Dosa Seorang Konsumen Buku Bajakan

Diperbarui: 3 Maret 2020   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu, teman saya mengirim pesan ke grup WA alumni kampus, ia bilang; "menulis itu bekerja untuk keabadian. Demikian pun kata sang meastro Pramedya A. Toer, kalau menulis itu adalah sebuah keberanian.  Siapa pun yang berani mengabadikan mahakaryanya dengan menulis buku itu adalah pewaris estafet peradaban. 

Orang kebanyakan bilang buku itu jendela dunia, tempat bagi siapa saja berguru berbagai gagasan, meramu nutrisi ilmu pengetahuan. Bagi saya, buku adalah sebuah kebudayaan. Ia adalah hasil karya, kerja, cipta dan karsa manusia (penulis) dalam kehidupan intelektual yang panjang.

Oleh karena itu kita semestinya bersyukur kepada para penulis, mereka adalah orang-orang pemberani mewarisi peradaban pengetahuan. Coba kita bayangkan bila tak ada orang yang berani menulis buku, apalah jadinya dunia masa kini, jika tak ada penulis-penulis hebat dimasa lalu?

Karl Marx misalnya, bayangkan bila Ia tak bersentuhan dengan filsafat idealisme Hegel atau membaca filsafat materialismenya Feurbach, atau jika Ia tak membaca karya-karya Adam Smith dan tulisan-tulisan yang lainnya, bagaimana nasib dunia di abad 19 dan 20? Pasti akan berjalan dengan dingin. 

Juga dengan ibu kita Kartini, yang dinobatkan Pramedya A. Toer sebagai pemikir Indonesia moderen pertama. Bayangkan saja, bila Kartini tak membaca buku Max Havelaar karya Multatuli alias Edward Dekker, atau tak membaca buku Doromen van het Ghetto karya Israel Zangwill, atau buku Reisinpressie karya Louis Marie-Anne Couperus, dan buku-buku lainya yang mempengaruhi pemikiran Ibu kita Kartini. 

Kita tentu tak dapat membayangkan bagaimana nasib diskursus pemikiran feminisme dalam kancah pergerakan perempuan indonesia kini.

Begitu dengan pemikir indonesia sekelas Bung Karno, Tan Malaka dan lainya. Bila mereka tak bersinggungan dengan gagasan-gagasan filsafat, komunisme, sosialisme, nasionalisme, ekonomi-politik yang ditulis pemikir-pemikir sebelumnya, jelaslah tak ada buku Jasmerah, Sarinah atau Dibawa Bendera Revolusi karya Bung Karno. Begitu pun tak ada Madilog dan lainya karya Tan Malaka. 

Mungkin di jaman mereka waktu itu, buku-buku masilah sesuatu yang terbatas. Toko-toko buku mungkin belum ada, perpustakaan juga masilah sangat terbatas. Beda jauh dengan era kita kini, buku-buku bisa diakses sekali klik lewat gadget. 

Kita terperangah dengan adanya penemuan kertas, kemajuan teknologi percetakan sejak penemuan mesin cetak pertama buatan Gutenburg dan perkembangan terknologi komunikasi yang kian melesit berkat penemuan internet dan website online pertama di dunia telah menjanjikan pesatnya industri percetakan. 

Dibalik kemajuan tenaga produktif yang kita banggakan tersebut justru menyimpan sejuta efek deskrutif yang memilukan, salah satunya masifnya pembajakan buku yang murni bertujuan bisnis. 

Modernisasi teknologi percetakan yang mendorong percepatan bajakan buku mudah kita temukan dalam keseharian kita.  Di google, di facebook, di aplikasi jual beli online mudah kita temukan orang-orang menjual buku bajakan secara terang-terangan demi mengeruk keuntungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline