Menjadi tua bukan berarti behenti karya. Anthony Hopkins yang sekarang berumur 83 tahun membuktikannya dengan memenangkan Oscar sebagai pemeran utama pria terbaik melalui film “The Father”.
Ini adalah piala Oscar kedua yang dimenangkan oleh Hopkins, setelah sebelumnya tahun 1992 memenangkan Oscar melalui perannya sebagai Hannibal Lecter dalam The Silence of The Lambs. The Father sekaligus juga menorehkan sejarah bagi Hopkins sebagai aktor tertua yang memenangkan Oscar.
Sebelumnya, The Father juga meraih penghargaan British Film Academy Award (BAFTA) untuk aktor utama terbaik dan piala naskah adaptasi terbaik. Kemenangan The Father adalah piala keempat bagi Hopkins sebagai aktor terbaik. Piala pertama lewat film War & Peace pada tahun 1973, piala kedua melalui The Silence of The Lambs pada tahun 1992, dan piala ketiga dalam The Remains of the Day di tahun 1994. Tahun lalu, Hopkins juga masuk dalam nominasi BAFTA dan Oscar lewat perannya sebagai paus Benediktus dalam The Two Pope. Namun, belum berhasil memenangkan piala.
Film The Father disutradarai oleh Florian Zeller yang naskahnya ditulis oleh Zeller bersama dengan Christopher Hampton. Film ini menceritakan kisah seorang pria lanjut usia yang mengalami demensia, dimana terjadi penurunan daya ingat dan cara pikir. Anthony (diperankan oleh Anthony Hopkins) tinggal seorang diri di apartemennya di kota London. Putrinya, Anne (diperankan oleh Olivia Colman), sudah beberapa kali menyewa perawat untuk merawat ayahnya. Namun Anthony selalu menolak karena menganggap dia masih mampu merawat dirinya sendirinya.
Suatu hari Anne berkunjung ke rumah ayahnya dan mendapati Anthony menuduh perawat barunya, Angela, mencuri arloji miliknya sehingga membuat Angela sakit hati. Anne meminta ayahnya untuk mengecek kembali arloji itu dan ternyata ada di tempat Anthony menyimpan barang-barangnya. Dia sendiri yang lupa meletakkkan arloji itu. Anthony tetap menyalakan Angela sehingga Angela memutuskan berhenti. Di waktu yang sama, Anne mengabarkan bahwa ia akan pindah ke Paris bersama kekasihnya. Anne akan mencarikan seorang perawat yang akan merawat dan menemani Anthony.
Film kemudian menceritakan bagaimana Anthony sering salah mengenali orang-orang di sekitarnya, termasuk Anne, putrinya sendiri. Situasi ini membuat Anthony merasa kebingungan dengan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. “Who are you? Who am I? adalah pertanyaan yang sering Anthony lontarkan. Cerita bergulir diambil dari sudut pandang Anthony yang mengidap demensia sehingga alurnya berubah-ubah sesuai dengan apa yang ada di pikiran Anthony.
Hopkins berhasil menghidupkan bagaimana seseorang mengalami demensia. Saat adegan Anne datang, tapi bukan sebagai Anne yang dikenal Anthony, Hopkins memerankan keterkejutan yang berubah menjadi kebingungan saat Anne menjawab bahwa dia adalah Anne. Dan kebingungan ini terus berlangsung. Terjadi perubahan emosi yang kadang drastis kadang tidak, yang memberi warna pada film ini. Kebingungan ini diperkuat dengan adanya perubahan set dan latar belakang pada adegan yang berlangsung. Permainan Hopkins diimbangi dengan baik oleh Colman sehingga membuat film ini terasa sangat nyata.
Yang menarik bagi saya adalah saat adegan dirawat di rumah perawatan, di dalam kebingungan, Anthony bertanya kepada perawat “Who exactly I am?”. “You are Anthony”, jawab si perawat. “Anthony, are you sure?”. Lalu Anthony tiba-tiba teringat ibunya yang memberinya nama Anthony. Sambil menangis persis seperti anak kecil, Anthony berkata “I want my mummy. I want her to come and fetch me. I want to go back home”. Bagi Anthony yang merasa kebingungan dengan dirinya dan dunianya, satu-satunya yang memberi kepastian dan ketenangan adalah kehadiran ibunya. Anthony merasa dia bagaikan pohon yang kehilangan daunnya, satu per satu. Anthony tidak lagi memahami apa-apa. Bagi saya, adegan ini mewakili kekuatan Hopkins dalam memainkan kerapuhan seorang demensia. Seseorang yang dulunya sebuah pohon yang kuat, kini kehilangan dirinya sendirinya secara perlahan-lahan. Sulit untuk tidak terbawa emosi saat menonton film The Father.
Sudut pandang dari penderita demensia inilah yang menjadi kekuatan film The Father. Sebelumnya ada beberapa film yang juga berkisah tentang demensia dan Alzheimer. Ambil contoh film Away from her dan Still Alice. Namun film-film tersebut lebih banyak mengeksplorasi dari sudut pandang keluarga dan yang merawat. Hopkins berhasil membawa kita ke dalam kebingungan, kemarahan karena ketidakmampuan memahami sesuatu dan mengendalikan sesuatu, kerapuhan manusia dan kehilangan diri sendiri dari sudut pandang penderita demensia itu sendiri. Di sisi lain, film ini juga menggambarkan bagaimana sang putri, Anne, dalam kesulitan dan frustasi berusaha memahami kondisi yang ayah.
Anthony Hopkins sendiri menyamakan kebingungan karakter Anthony yang diperankannya dengan kebingungan yang kita alami universal karena pandemik Covid-19. Hopkins berkata kepada Variety, “Kita berada di relaitas yang berbeda sekarang. Kita sedang kehilangan arah dari yang kita miliki sebelumnya”. Bagi Hopkins, film The Father menjadi pengingat akan kematiannya sendiri.
Yang menarik adalah Zeller menulis naskah The Father memang untuk Anthony Hopkins, yang saat itu sedang sibuk dalam proses pengambilan film The Two Popes sebagai Paus Benediktus. Hopkins bertanya apakah produksi film dapat ditunggu sampai dia selesai dengan proyek film The Two Popes. Dan Zeller bersedia menunggu. Bagi Zeller, Hopkins adalah aktor yang terhebat yang pernah ada. Kemenangan film The father membuktikan bahwa penantian Zeller memang tidak sia-sia.