Sejarah jurnalisme di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya perkembangan dunia pers. Pers di Indonesia dapat berkembang sampai saat ini melalui beberapa era dari masa pemerintahan Belanda, Jepang, pasca kemerdekaan era pemerintahan Soekarno, masa pemerintahan Soeharto dan masa reformasi. Dari setiap pembagian era tersebut memiliki keunikannya masing-masing. Pada artikel ini akan membahas pers di Indonesia era pemerintahan Belanda sampai kemunculan pers pribumi.
Era Pemerintahan Belanda
Sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia dimulai pada pemerintahan Belanda ketika menjajah Indonesia. Kegiatan jurnalistik di di Indonesia pada saat itu diwarnai ketika adanya penerbitan surat kabar Memories der Nouvelles tahun 1615. Surat kabar Memories der Nouvelles pada saat itu ditulis menggunakan tangan yang berisi berita-berita Belanda untuk disebarkan di Indonesia untuk pejabat Perkumpulan Dagang Hindia Timur (VOC) sampai Ambon.Surat kabar Memories der Nouvelles memiliki keunikan yang terletak pada penulisannya.
Di mana surat kabar tersebut ditulis tangan secara langsung oleh Gubernur Jendral ke-4 Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen. Pada saat itu orang-orang yang dapat menerima surat kabar tersebut terbatas dikarenakan hanya menerbitkan 30 eksemplar. Setelah itu ketika Gubernur Jendral Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat maka diterbitkan surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen pada 7 Agustus 1744. Adapun surat kabar yang diterbitkan oleh Jan Erdmans Jordens tersebut dikirim ke Belanda menggunakan kapal selama tujuh bulan perjalanan. Setelah diterima oleh Belanda surat kabar tersebut ternyata dilarang untuk terbit.
Surat Kabar terus Bergantian
Pada abad ke-19 di masa penjajahan Inggris dan Belanda surat kabar terus-menerus bergantian. Pada tahun 1811 ketika wilayah Hindia Timur dikuasai oleh Inggris maka diterbitkannya surat kabar bernama "Java Government Gazzete". Lalu ketika Belanda kembali menguasai maka surat kabar beralih ke "Bataviasche Courant".
Tidak bertahan lama surat kabar tersebut digantikan oleh "Javasche Courant" tahun 1829. Pada tahun tersebut surat kabar di Indonesia mulai berkembang seperti di wilayah Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Seiring berkembangnya waktu di Semarang terbit surat kabar bernama "De Locomotief" yang berisi kritik terhadap pemerintah kolonial.
Abad ke-19 muncullah surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).
Selain itu, pers pribumi semakin berkembang yang memiliki sifat nasionalis dan radikal seperti "Oetoesan Hindia" (Surabaya, 1914) di bawah Sarekat Islam, "Neratja" (Batavia, 1917), "Boedi Oetomo" (Yogyakarta, 1920), "Sri Djojobojo" (Kediri, 1920), "Tjaja Soematra" (Padang, 1914), "Benih Merdeka" (Medan, 1919), "Hindia Sepakat" (Sibolga, 1920), "Oetoesan Islam" (Gorontalo, 1927), dan "Oetoesan Borneo" (Pontianak, 1927).
Terlepas dari itu, selain pers pribumi terdapat juga pers islam yang memiliki aliran lebih tertuju kepada isu keagamaan seperti "Pedoman Masjarakat" (Medan, 1935), "Pandji Islam" (Medan, 1934), "Perasaan Kita" (Samarinda, 1928), "Ra'jat Bergerak" (Yogyakarta, 1923).