Final Copa America 2016 di stadion MetLife EAST RUTHERFORD, New Jersey pada hari Minggu yang lalu, tak pelak memunculkan pukulan berat bagi Argentina, Lionel Messi, para pendukungnya, termasuk diriku (sebagai pendukung berat Argentina di final ini tentunya).
Namun kali ini aku ingin juga menyentil sedikit tentang wasit yang memimpin pertandingan Argentina vs Chile itu. Bukan berarti kekalahan Argentina di final itu serta merta adalah karena kesalahan wasit loh ya. Sama sekali tidak seperti itu. Bukan juga untuk sekedar mencari-cari alasan. Karena sekali kalah ya Argentina sudah kalah dan itu kenyataannya. Hanya saja, aku melihat ada beberapa ‘sikap’ wasit Heber Lopes yang lumayan mengganjal di hati, ketika ia memimpin pertandingan tadi.
Dalam sebuah pertandingan final, siapa sih sebetulnya yang paling tegang dan grogi? Tentu saja dua kesebelasan yang saling berhadapan itu, dan juga wasit yang memimpin laga tersebut. Jangan pikir wasit tidak akan mengalami ketegangan luar biasa. Setiap wasit yang memimpin laga final pasti akan penuh ketegangan dan kehati-hatian yang amat sangat. Aku yakin banget itu deh.
Wasit Heber Roberto Lopes, menurutku, sedikitnya sudah menjadikan pertandingan final Copa America kali ini menjadi anti klimaks, dan kurang begitu asyik untuk ditonton. Beneran deh. Final yang tidak seperti apa yang banyak penonton harapkan. Final yang penuh ‘sengsara’. Tapi kesengsaraan yang pada ujungnya membawa nikmat bagi Chile. Tetapi, jelas tidak bagi Argentina.
Mungkin kita semua para pecinta sepakbola masih ingat, enam tahun yang lalu, seorang wasit bernama Howard Webb asal Inggris, membuat final piala dunia 2010 menjadi ‘rusak’ dan tak bergairah lagi untuk ditonton. Kala itu dia berusaha sangat keras menjaga semua pemain supaya tetap pada ‘rel’permainan yang baik dan terjaga. Apa daya, justru semua berakhir ‘tragis’. Dia membiarkan semua pemain seakan bermain ‘semau gue’ dengan berbagai macam pelanggaran keras.
Sekarang, pada final Copa America 2016 ini, wasit Roberto Lopes memimpin jalannya pertandingan final justru jauh berkebalikan dengan apa yang dibuat Webb pada 6 tahun lalu itu. Ia tanpa sengaja telah membuat pertandingan final itu menurutku menjadi kurang berkualitas, dengan sikap kaku dan tegasnya yang berlebih-lebihan. Semuanya ikut menjadi penuh ketegangan dan ketakutan berlebihan.
Sebetulnya laga final ini mestinya menjadi pertandingan maha dahsyat, tidak saja karena partai ini adalah pengulangan final Copa America setahun yang lalu, namun juga karena adanya ‘perang urat syaraf’ kedua tim ini, apalagi sebelumnya Chile baru saja menghantam Colombia dengan skor setengah lusin lebih. Tentu juga perang gaya antara dua kesebelasan yang sudah saling belajar satu sama lain mestinya menjadikan laga berdarah-darah ini sangat enak untuk ditonton.
Lionel Messi, jelas aku lihat dalam pertandingan ini bahwa dia itu sebetulnya sangat mengerti betul apa yang harus ia buat. Dia tahu permainan ini dengan sangat baik. Dan, dia juga punya kapasitas untuk mencari celah, menerobos masuk ke ruang tak terjaga dan melakukan sesuatu di sana. Tak diragukan lagi kelebihan-kelebihan seorang Messi. Namun Messi tak bisa berjuang sendiri.
‘Musibah’ mulai muncul, membuat sisa pertandingan kurang menarik lagi ditonton. Pemain tengah Chile Marcelo Diaz pada sebuah situasi terlihat menjadi begitu panik, lalu kemudian membuat pelanggaran. Wasit Roberto Lopez tak mau ambil resiko, kartu kuning pun melayang untuk Diaz. Pertandingan dilanjutkan. Nah, ketika Diaz melakukan kesalahan berikutnya, yang menurutku masih oke-oke saja, tapi ternyata tidak bagi sang wasit. Ia segera saja mengangkat kartu kuning kedua, itu artinya Diaz harus keluar lapangan hijau. Chile harus bermain dengan 10 pemain. Ini sebetulnya kesempatan besar bagi Argentina. Sayang sekali itu sama sekali tak terjadi, Argentina gagal memanfaatkan peluang. Bermain di bawah tekanan dan ketegangan.
Mungkin sekali sang wasit juga dipenuhi ketegangan luar biasa saat itu. ‘Kesalahan’ dia mengeluarkan kartu kuning ke-dua yang menyebabkan Diaz harus keluar lapangan rupanya menghantui dia sepanjang pertandingan berlangsung. Jika ‘kesalahan kecil’ Diaz saja membuahkan kartu kuning, maka semua kesalahan seperti itu harus juga diganjar kartu. Tidak boleh tidak. Kalau sampai Lopes tidak mengganjar pelaggaran-pelanggaran lainnya dengan kartu, maka ia akan dicerca dan dihujat habis-habisan.
Apa yang terjadi selanjutnya? Sang wasit berlari ke sana ke mari mengeluarkan kartu demi kartu. Terkesan ‘harga’ kartu di saku sang wasit jadi sangat murah. Messi terjatuh, kartu kuning untuk lawan. Pemain Argentina Marcos Rojo mengganjal Arturo Vidal, kartu merah! Sekarang 10 pemain melawan 10 pemain. Semakin sedikit pemain yang berada di lapangan hijau semakin banyak pelanggaran mungkin terjadi. Bermain dengan sangat hati-hati dan tegang, tanpa ada satupun yang bisa menebak kira-kira apa lagi yang akan dilakukan sang wasit. Kartu apa lagi yang akan ia keluarkan. Semua pemain nampak sudah capek dan terlalu over. Permainan menjadi tidak berkembang. Argentina perlahan mulai kehilangan intensitas penyerangan mereka, para pemain turun bertahan.