Seperti yang sudah kita tahu bersama, ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional. Ini terutama karena melihat pasar ASEaN yang sangat besar dan beragam.
Menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduk ASEAN tentu tidaklah mudah. Perjuangan untuk mewujudkan area perdagangan bebas memerlukan waktu yang tidak singkat. Pertama kali dibicarakan dan digagas pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992, maka baru saat ini, tepatnya tahun depan 2015 AFTA akan benar-benar dijalankan.
Nah beberapa tujuan diterapkannya AFTA ini adalah untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global, tidak hanya pada tataran lokal dan ASEAN semata. Kemudian juga agar supaya dapat menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI). Selain juga tentu saja demi meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade).
Siapkah Kita?
Sekarang ini muncul banyak pertanyaan di benak kita, salah satunya adalah apakah bangsa kita sudah siap atau belum siap sama sekali? Menurut saya kita belum terlalu siap. Sebab coba kita adakan survei, jangan dulu survey mengenai tingkat kesiapan, tetapi survei mengenai pengetahuan kita tentang AFTA yang sebentar lagi akan dijalankan. Pengetahuan orang Indonesia mengenai hal itu pasti masih begitu minim. Saya yakin masih begitu banyak yang bahkan tidak tahu sama sekali apa itu AFTA.
Masih begitu banyak juga yang tidak mengerti kenapa harus ada AFTA, bagaimana ia harus menghadapi dan menyikapi AFTA 2015 itu. Bahkan, pasti ada yang mendengar tentang AFTA pun tidak pernah sama sekali. Tidak usah jauh-jauh, di lokasi saya tinggal saja, hampir setiap kawan yang saya tanyai mengenai AFTA mereka itu tidak tahu sama sekali. “Makanan jenis apa pula itu…” celotehan seperti itulah yang saya peroleh. Jadi apakah kita dapat dikatakan siap bila mendengar tentang hal itu saja, bahkan kita belum pernah? Bagaimana dengan para pedagang, petani, nelayan, pemilik toko tradisional kita? Mereka yang tinggal di daerah dan pedesaan. Apakah mereka tahu tentang AFTA, dan apa peran pemerintah membantu mereka?
Sekarang masalah paling krusial adalah tentang kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) kita. Negara kita bakalan terancam didominasi kehadiran para pekerja asing bila memang perdagangan bebas ASEAN tahun 2015 sudah benar-benar dijalankan. Karena di negara kita masih terlihat kekurangan tenaga kerja berkeahlian khusus. Artinya mereka yang memiliki spesifikasi ketrampilan tertentu, yang jarang dimiliki pekerja lain.
Pendidikan dan Ketrampilan
Menurut catatan yang saya baca, seorang Konsultan Pendidikan dari La Trobe University Ina Liem, bahkan pernah mengatakan, bahwa sudah sejak 20 tahun lalu jurusan favorit di kalangan pelajar kita masih belum berubah. ‘Hanya’ ada empat jurusan yang terus menerus menjadi favorit. Jurusan yang paling diminati itu adalah bisnis manajemen, kedokteran, arsitektur dan Informasi Teknologi (IT). Apa akibatnya kalau seperti itu? Jelas sekali, ini akan melahirkan atau menimbulkan ‘over stock’ sarjana-sarjana pada bidang ilmu tersebut. Sementara itu, kita kekurangan tenaga ahli pada bidang-bidang lain yang justru amat dibutuhkan. Lalu apa akibatnya? Ketika AFTA diterapkan, tenaga-tenaga ahli dari luarlah yang akan merebut semua posisibidang lain tersebut. Ahli-ahli dalam bidang tertentu menumpuk, namun di bidang lain sangat kekurangan. Ini adalah kekontrasan yang membahayakan.
Nah, jika calon mahasiswa atau juga para lulusan universitas di Indonesia masih terus memilih dan merasa nyaman dengan beberapa jurusan popular itu saja, maka bersiaplah kita menyaksikan posisi-posisi unik dan strategis kelak akan dikuasai oleh para pekerja asing. Ini bisa saja secara simultan akan justru menambah jumlah pengangguran. Sarjana-sarjana kita akan semakin banyak yang menganggur.
Ada begitu banyak jurusan-jurusan strategis yang justru belum diminati kalangan pelajar dan mahasiswa kita. Misalnya saja jurusan ilmu farmasi, tehnik farmasi, dan ilmu keperawatan. Di luar negeri jurusan-jurusan ini sangatlah diminati. Jelas saja, karena bukankah kebutuhan masyarakat akan kesehatan makin tinggi dan bertambah?
Di Amerika serikat perawat Indonesia yang bekerja di sana contohnya, sangatlah sedikit. Tapi coba lihat perawat dari Filipina, merekalah yang menguasai ‘pasar’ perawat di sana. Hampir di setiap Rumah Sakit pasti ada perawat dari Filipina, dan jumlahnya sangat banyak. Setiap ada kebutuhan perawat pasti supplynya datang dari Fillipina. Sangat pasti, perawat-perawat Filipina jugalah nantinya yang akan menguasai pasar di ASEAN ini, termasuk di Indonesia.
Contoh lainnya juga adalah pelaut Fillipina. Di dunia kepelautan mereka menguasai pasar di laut, menyumbang kurang lebih hampir 500 ribu pelaut. Indonesia yang adalah negara kepulauan, dan memiliki jumlah laut jauh lebih besar dari daratan, hanya mampu menyumbang tidak lebih dari 80 ribuan pelaut. Masih sangat kalah jauh dari Fillipina.
Selain itu juga tentu kurikulum belajar mengajar baik di sekolah tingkat menengah maupun perguruan tinggi harus benar-benar disesuaikan. Dulu ketika kuliah, ada banyak sekali mata kuliah dan mata pelajaran sewaktu SMA yang saya rasa ternyata tidak dipakai sama sekali di dunia kerja. Ini mestinya diubah. Paradigma kita harus diubah, bahwa bukan karena makin banyaknya mata kuliah atau mata pelajaran yang diikuti maka kita akan berhasil. Terlihat keren dan hebat. Bukan itu. Justru semakin sedikit namun semakin fokus dan ada spesifikasi khususlah yang akan semakin menajamkan kita dan membuat kita terampil serta punya keahlian. Yang lebih spesifik tentu akan lebih baik daripada yang terlalu general. Semakin spesifik akan semakin ahli dan terampil seseorang itu. Pisau yang diasah pada bagian yang sama pastilah akan semakin tajam. Di Israel, salah satu pola pengajaran yang diterapkan adalah repetition. Semakin sering diulang, maka siswa akan semakin mahir dan semakin menguasai materi.
Apa Selanjutnya?
Sekarang mau apa lagi. Mau tidak mau kita harus siap menghadapi AFTA 2015. Untuk mengubah apa yang selama ini sudah berjalan tentu tidak gampang dan membutuhkan waktu panjang. AFTA 2015 tinggal beberapa bulan lagi. Mengubah kurikulum tidak mungkin lagi. Memilih jurusan kuliah sudah terlambat. Jadi apa yang nyata-nyata dapat kita perbuat dalam waktu beberapa bulan ini? Itulah yang kita buat terlebih dahulu, sembari membenahi yang lain-lainnya. Perkuat kemampuan berbahasa Inggris. Perkuat kemahiran memakai dan menggunakan komputer, khususnya program-program spesifik. Itu dari segi sumber daya manusia.
Dari segi barang dan produksi lokal, ya kita tingkakan daya saingnya. Buat sebagus dan sebersaing mungkin. Dari kualitas tentu tidak boleh kalah dari produk-produk yang sama dari negara ASEAN lainnya. Kalau perlu kita harus segera memproduksi barang-barang alternatif yang sekiranya belum ada atau belum terlalu banyak di pasaran. Ini untuk mengisi kekosongan pasar dan meningkatkan daya saing. Pasar yang disasar di ASEAN cukup menjanjikan, sekitar 500 juta jiwa.
Peran pemerintah harusnya makin besar dan jelas. Karena apapun itu, maka campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan saat ini, bukan nanti. Kalau pemerintah tidak mau tahu dan tidak mau terlibat, ini akan berakibat fatal. Jangan sampai kita akan ‘gigit jari’ nantinya. Dan jangan sampai pemerintah akan menyesal setelah kita semua sudah jadi korban AFTA 2015. Semoga kita akan semakin siap menyongsong berlakunya AFTA 2015. Semoga pasar bebas ini akan menguatkan kita, bukan melemahkan. HS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H