Akhir-akhir ini, dunia semakin berkembang pesat dengan meningkatnya kemajuan teknologi yang bukan hanya mempermudah namun juga memanjakan para penggunanya. Salah satu bentuk nyata dari kemajuan teknologi adalah internet. Hadirnya teknologi ini mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi, bertukar pesan, bahkan berinteraksi hanya dengan mengakses internet melalui komputer maupun smartphone.
Esther Dyson, seorang visioner di bidang teknologi digital, berpendapat bahwa fenomena perkembangan teknologi saat ini merupakan bibit penentu bisnis di masa depan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bisnis berbasis teknologi, salah satunya bisnis E-commerce. Munculnya konsep baru ini tentu saja berdampak pada perubahan pola pikir manusia mengingat bisnis online sangat mudah dikerjakan dan tidak mengikat dari sisi waktu. Dengan adanya berbagai bisnis baru berbasis teknologi yang bermunculan, kita bisa menyimpulkan bahwa internet dapat dimanfaatkan secara positif. Salah satu pemanfaatan internet yang dinilai cukup baik adalah bisnis Jasa Titip Beli (Jastip).
Pemain utama dalam industri Jastip adalah pengguna internet yang merupakan penyedia individual informal. Dikutip dari globalindonesianvoices.com, industri ini memiliki potensi network effect. Semakin banyak pengusaha Jastip yang menawarkan layanan ini, semakin baik bagi pembeli karena mereka tidak harus mengunjungi toko yang menjual barang. Pembeli bisa dengan mudahnya menemukan penyedia Jastip lewat berbagai media sosial, salah satunya ialah Instagram. Pada mulanya, Instagram dikenal sebagai jejaring sosial yang menawarkan para penggunanya kesempatan untuk berbagi kehidupan mereka melalui serangkaian gambar. Perusahaan Amerika yang didirikan pada tahun 2010 ini mengklaim bahwa 40 juta gambar diunggah setiap hari dan ada 8.500 like yang dihasilkan per detik. Popularitas Instagram dibuktikan dengan pengguna yang mencapai lebih dari 200 juta user dan 13% dari total pengguna media sosial menempatkannya di peringkat keempat setelah Facebook, Twitter dan Pinterest.
Bisnis Jastip merupakan usaha di bidang jasa untuk membelikan barang sesuai dengan pesanan dan memanfaatkan teknologi media sosial sebagai media penawaran jasa tersebut kepada konsumen. Seiring berjalannya waktu, barang yang dipesan tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga ada permintaan untuk barang-barang dari luar negeri. Dengan adanya Jastip, konsumen dapat mengakses berbagai produk dari berbagai negara tanpa harus melakukan perjalanan ke tempat asal barang tersebut. Pelanggan dimanjakan dengan proses pemesanan, pembayaran dan pengiriman yang relatif mudah. Sebagai bagian dari pelayanan, Jastip akan bertanggung jawab untuk memastikan barang sampai dengan selamat kepada konsumen.
Selain potensi keuntungan yang tinggi, Jastip juga memiliki risiko yang mengintai. Polemik mulai timbul untuk pengusaha Jastip barang dari luar negeri. Pelaku bisnis di sektor ini dinilai tidak melakukan prosedur pemasukan barang dari luar kawasan Pabean yang sesuai dengan regulasi impor. Peraturan Menteri Keuangan No. 203 Tahun 2017 menyebutkan bahwa barang yang diperdagangkan secara komersial wajib tunduk kepada peraturan yang berlaku dan harus membayar pajak serta bea masuk. Yang dibebaskan dari kewajiban tersebut hanya barang perseorangan yang tidak diperdagangkan dengan total nilai di bawah USD 500 (FOB Value). Sedangkan, bisnis Jastip kerap kali memperdagangkan barang diatas nilai tersebut.
Memang pelaku usaha terkadang mencari celah dalam peraturan untuk memaksimalkan keuntungan. Namun sayangnya, proses bisnis seperti ini tidak memenuhi ketentuan keamanan, merugikan negara dan merusak kompetisi dengan pelaku usaha yang jujur karena tidak membayar pajak. Berbagai asosiasi sedang mengadakan dialog mengenai fenomena ini dengan pemerintah, salah satunya Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (HIPPINDO), Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) dan Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (APGAI). Jika praktik impor ilegal tidak diintervensi, maka akan berdampak buruk pada pengusaha UMKM dalam negeri.
Dengan adanya pandangan berbeda dari berbagai pihak, Pemerintah berupaya hadir dengan diterbitkannya Permendag No. 36 Tahun 2023 yang melibatkan kolaborasi lintas Kementerian, salah satunya DJBC (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) serta BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Fokus utama regulasi ini adalah beralihnya pengawasan impor dari post-border menjadi border. Peraturan ini diyakini bisa menjembatani kepentingan domestik seperti masyarakat Indonesia secara umum, pengusaha UMKM tanah air dan perusahaan yang melakukan impor sesuai prosedur. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Isy Karim menyatakan bahwa Jastip saat ini sedang mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Itikad baik dalam mengatasi ketimpangan pemahaman diwujudkan oleh pemerintah dengan mengadakan berbagai sesi diskusi dan forum terbuka untuk menjelaskan tujuan serta implikasi dari suatu regulasi yang akan diterapkan.
Di dunia modern ini, kita sangat didukung untuk bermanfaat bagi masyarakat dan salah satu cara untuk mewujudkannya adalah menciptakan lapangan pekerjaan dengan berwirausaha. Revolusi perkembangan jaman dengan segala kemajuan teknologi telah jelas terasa dalam bidang industri. Perkembangan dan perubahan akan menciptakan pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan baru. Fenomena ini dipandang sebagai tantangan utama yang harus dihadapi pemerintah untuk meningkatkan keterampilan SDM agar mampu bersaing dan tidak tertinggal dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.
Penetapan kebijakan yang seimbang dan tepat sasaran tentunya penting guna melindungi wajib pajak dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Perumusan dan implementasi regulasi sebaiknya tidak memihak pada pihak-pihak tertentu, melainkan netral dan bertujuan untuk melindungi serta menegakkan kewajiban perpajakan masyarakat. Menuju jaman yang kian maju, Indonesia sudah menanggapi kemajuan teknologi digital secara baik dengan penerapan digitalisasi pajak. Secara tidak langsung, langkah ini berkontribusi untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pajak yang mana sangat krusial dalam mencapai perekonomian yang stabil dan adil.
Akhir kata, bisa disimpulkan bahwa harus ada keseimbangan dan upaya sinkronisasi antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kesejatian manusia dalam era Society 5.0 ini. Pendalaman pemahamankan nilai-nilai moral dan etika perlu ditingkatkan dengan mengoptimalkan kesadaran akan fitrah kemanusiaan dengan kompetensi Spiritual Quotient (SQ) dan Emotional Quotient (EQ). Sebagai Warga Negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, mari kita bersama-sama membangun bangsa dan karakter melalui langkah kecil yang nyata yaitu dengan mematuhi peraturan yang berlaku. Niscaya, kita akan melewati berbagai rintangan di era Society 5.0 dengan kepala tegak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H