Saya membeli 1 paket buku sekira 5 tahun silam yang bertajuk Muhammadiyah, Tasawuf Muhammadiyah yang menceritakan tentang KH. AR. Fachruddin Karya Prof. Masyitoh Chusnan, Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis karya Hajriyanto Y. Thohari, Negara Muhammadiyah Karya Syarifuddin Jurdi, dan yang terakhir Si Anak Panah yang bercerita tentang Syafi’I Ma’arif.
Saya sempat menelisik, dari 4 buku hampir semua terdapat kata Muhammadiyah pada judul yang tertera di sampulnya, kecuali Si Anak Panah. Mengapa gerangan demikian, hingga setelah membacanya barulah kemudian memahami keterhubungan buku tersebut dengan Muhammadiyah.
Sebagai seorang akademisi, yang menjalani studi hingga Strata 2, saya tak begitu mengenal Buya Syafi’i Ma’arif sebelumnya, sampai pada masa sebuah buku yang merupakan karya Damien Dematra memperkenalkan sosok Buya Syafi’i Ma’arif.
Si Anak Panah, sependek narasi novel biografi ketimbang perjalanan panjang kehidupan beliau dari sejak lahir hingga akhirnya beliau wafat pada hari ini yang meninggalkan duka bagi bangsa Indonesia pada umumnya, dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya.
Dalam buku tersebut diceritakan, Buya Syafi’i Ma’arif sebagai salah satu anak panah Muhammadiyah, siap ditempatkan di daerah mana pun untuk mengabdi kepada tanah air. Yang pada akhirnya beliau ditugaskan untuk mengajar pada sebuah sekolah dasar di Lombok Timur, yakni menjadi guru di sebuah desa yang sepi.
Kehidupan beliau yang sederhana dijalani dengan sabar di daerah yang sangat indah itu. Namun pada akhir pengabdiannya kerinduan akan kampung halaman membuatnya pulang setelah lima tahun beliau merantau. Selama di kampung, Buya Syafii mendapati bahwa takdirnya adalah untuk merantau dan melanjutkan studi dalam rangka mencari ilmu setinggi-tingginya. Beliau pun kembali ke tanah Jawa untuk kuliah di Surakarta. Karena impitan ekonomi, Beliau menjalani kuliah sambil bekerja sehingga melakoni pekerjaan apa saja yang halal. Mulai dari menjadi guru mengaji, tukang besi, penjaga toko kain, bahkan sampai menjadi penjual ayam.
Masih banyak sekelumit kisah beliau, terceritakan pada buku yang berjudul Si Anak Panah yang terbit Mei 2010. Yang tentunya belum menggambarkan keseluruhan hidupnya, puluhan tahun yang dijalani hingga akhir hayat beliau. Namun kisah Si Anak Panah, sekira 5 tahun lalu cikal bakal mengenal beliau dan menjadi tertarik menelusuri lebih jauh siapa beliau sebenarnya.
Dan pada akhirnya, hasil dari penelusuran tersebut menjadi motivasi terkhusus pencapaian-pencapaian beliau yang sangat inspiratif. Mulai dari pencapaian dari karya-karya, sumbangsi pemikiran hingga pengabdian beliau dalam mencerdaskan bangsa dan membesarkan Muhammadiyah, terkhusus pada masa kepemimpinannya di tahun bergolaknya reformasi hingga tahun 2005.
Kini Beliau Wafat, meninggalkan dunia yang sementara, sebuah duka, kehilangan sosok bapak bangsa yang senantiasa memberi narasi-narasi menyejukkan. Di penghujung tulisan ini, hanya untaian doa yang mampu terlafadzkan, Semoga pengampunan senantiasa mengiringi. Semoga beliau dianugerahi ilmu yang bermafaat, ilmu yang menjadi amal jariah, serta meninggalkan anak cucu yang soleh dan solehah hingga menjadi do’a yang tak pernah putus untuk mejadi ladang pahala baginya, sebagai teman menuju perjalanan selanjutnya.
Selamat Jalan Buya...