Lihat ke Halaman Asli

Otak-atik Pendidikan Indonesia, Salah Siapa?

Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Siswa dan Kurikulum. (Sumber: KOMPAS/SPY)

Pendidikan, sebuah topik yang sangat besar, yang mau diamati dari segi manapun tetap luas. Saya mau refleksi saja dari posisi saya sebagai seorang guru sekolah selama 28 tahun.

Sampai tahun 1998, saya masih dapat jatah menjadi pemeriksa Ebtanas bidang studi matematika SMP, bentuk soal esai berstruktur. Beberapa hal yang saya ingat, pertama, selesai mengoreksi saya langsung diarahkan ke loket untuk mengambil upahnya. 

Kedua, dari setumpuk jatah lembar jawaban yang harus dikoreksi kebanyakan mendapati lembar jawaban yang kosong-kosong, ada jawaban tapi tidak lengkap, sampai saya berpikir aduh ini parah sekali. Apakah karena kebetulan saya dapat sekolah non favorit?

Saya menduga inilah salah satu faktor yang menyebabkan dihapusnya esai karena upah pengoreksi jalan terus namun yang dikoreksi kebanyakan lembaran kosong .

Lalu tahun berganti, Ebtanaspun menjadi ujian akhir nasional, yang berganti lagi menjadi ujian nasional, yang dipatok sebagai standar kelulusan. Ujian standarisasi. High stakes test. Dengan semua bentuk soal pilihan ganda. 

Nah di masa-masa ini, saya ingat betul, lambat laun ujian penentu kelulusan ini menjadi terlalu diglorifikasi. Sekolah maupun siswa seperti dibuat agar gentar sebelum ujian.

Tidak pandang bulu, sekolah di kota besar, sekolah di kabupaten, sampai di desa maupun pelosok, harus bersikap sama terhadap ujian nasional. Padahal persiapan sehari-hari tiap sekolah saja berbeda, mana bisa menyamakan sekolah di kota besar yang lengkap fasilitasnya dan kualitas latar belakang siswa dengan sekolah di daerah terpencil dengan segala keterbatasannya. Namun nampaknya ujung-ujungnya adalah penilaian. 

Siswa lulus 100%, sekolah bernilai baik. Sekolah bernilai baik, dinas pendidikan yang menaungi juga dinilai baik. Akhirnya cuma demi ego, harga diri, ranking, akreditasi, administrasi, maka harus didengungkan "ini ujian penentu kelulusan" terus menerus makanya bahasa saya ditakut-takuti. 

Padahal harusnya sistem yang baik dan benar adalah mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang di daerah dan masih tertinggal menjadi berkembang menuju setara, bukannya menyamaratakan semuanya.

Sadarkah bahwa metode ditakut-takuti itu tidak bisa diterapkan kepada semua anak? Ada memang anak yang terpacu justru oleh ancaman kelulusan namun kita tidak bisa tutup mata dengan kemungkinan ada anak yang akan stres, tidak peduli, mencari cara curang demi memenuhi kepuasan sekolah dan atasannya tadi pokoknya lulus 100%?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline